Mohon tunggu...
Taufik Uieks
Taufik Uieks Mohon Tunggu... Dosen - Dosen , penulis buku travelling dan suka jalan-jalan kemana saja,

Hidup adalah sebuah perjalanan..Nikmati saja..

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Rumah Pengantin Maut yang Menjadi Vihara

28 November 2016   20:03 Diperbarui: 30 November 2016   02:37 2418
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tetirah Rumah Tuan Besar”, ini adalah tema jalan-jalan komunitas Sahabat Museum dengan Plesiran Tempo Doeloe nya yang selalu menarik untuk dijelajahi. Minggu pagi yang lumayan cerah itu, kami berkumpul di halaman belakang Museum Sejarah Jakarta sekitar pukul 7.30 pagi..

Tujuannya adalah rumah-rumah persitirahatan atau vila yang pada jaman baheula dimiliki oleh tuan besar alias orang kaya pada masa VOC atau kumpeni itu.

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Perhentian pertama adalah rumah Van der Parra yang terletak di kawasan dekat Jalan Jayakarta yang dulunya bernama Jacatraweg. Van der Parra adalah Gubernur Jendral VOC yang ke 29 dan berkuasa dari 1761 sampai 1775.

Disini dibentangkan sketsa rumah persitirahatan yang sangat megah bak istana. Menurut Pak Liliek, di rumah ini dulu sering diadakan pesta-pesta dan di sketsa juga terlihat sosok Van der Parra yang sekilas tampak cukup tambun. Sayangnya rumah ini sekarang sudah tidak ada sisanya lagi karena kawasan ini sudah berubah menjadi hunian padat.

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Dari Kawasan Jalan Jakarta, bus kami menuju ke Jalan Hayam Wuruk yang dulunya bernama Molenvliet Oost. Berhenti sejenak tepat di seberang Gedung Arsip yang terletak di jalan Gajahmada. Jalan Gajahmada sendiri dulunya bernama Molenvliet West dan di antara kedua jalan ini terdapat kanal lurus yang merupakan sebagian dari jaringan kanal yang membuat kota Batavia seperti kota-kota di negri Belanda.

Gedung Arsip ini dulunya adalah rumah Reiner de Klerk Gubernur Jendral VOC yang ke 31 dan berkuasa pada 1777 sampai 1780. Rumah yang sekarang masih berdiri megah ini dibangun pada 1760 pada saat de Klerk masih menjadi anggota Raad Van Indie. Dari kejauhan, rombongan mengagumi keindahan dan kemegahan rumah peristiahatan yang sekarang menjadi gedung arsip ini.

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Kawasan Gunug Sahari adalah perhentian berikutnya. Bus berhenti di sudut jalan Lautze dan rombongan berjalan kaki menyusuri jalan yang agak sempit ini sekitar 5 menit untuk sampai ke sebuah Vihara yang beralamat di Jalan Lautze no 38.

Vihara Buddahyana”, demikian tertera pada pintu gerbang yang terbuat dari kayu dan berwarna kombinasi merah kuning emas. Warna ini memang  khas Vihara ataupun kelenteng Cina. Namun begitu masuk ke dalam halamanya terlihatlah gedung  megah dan  pendopo dengan pilar-pilar  yang besar. Tampak megah dengan warna merah yang menyala. Sekilas arstekturnya merupakan gabungan antara tradisional Jawa dan kolonial.

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Di depan selasar menuju bangunan utama juga terdapat nama Vihara ini lengkap dengan nama lamanya yaitu Wan Kiap Sie. Mirip lorong rumah sakit dilengkapi pilar-pilar langsing warna merah kuning emas yang anggun.

Kami disambut seorang pria berumur 40 tahunan yang dengan ramah bercerita sekilas tentang sejarah Vihara ini. Namun pak Lilik lah yang lebih banyak bercerita bahwa bangunan ini dulunya adalah rumah peristirahatan milik Frederik Julius Coyet. Coyett merupakan cucu dari Gubernur Taiwan (1656-1662) yang juga bernama Frederik Coyett dan merupakan orang yang berasal dari Swedia. Coyett sang cucu sendiri merupakan orang Eropa yang lahir di Asia.

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Rumah ini dulunya bernama Rumah Gunung Sari dan konon dibangun pada sekitar tahun 1720 an. Saya mendekati bangunan utama. Lilin-lin raksasa berwarna merah dengan hiasan naga berwarna hijau dengan api yang menyala membuat suasana sedikit sakral.

Di lilin ini juga tertulisa nama jemaah Vihara yang memberikan sumbangan. Lengkap dengan alamat dan juga tulisan dalam aksara mandarin.

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Disisi lain, ada sebuah lorong yang kali ini bertuliskan tiga buah aksara Cina dengan terjemahan Latin Wang Kiap Sie. Wah ada sedikit perbedaan dengan yang di halaman depan dimana tertulis Wan Kiap Sie.
Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Memasuki bangunan vihara, terdpaat beberapa patung Buddha yang di letakkan dalam kaca dan berbalut wana kuning keemasan. Bau asap dupa memenuhi ruang Vihara, sementara di salah satu sudut juga terdapat patung-patung yang konon berasal dari Candi Prambanan.
Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Yang  menarik adalah cerita bahwa bangunan ini sebenarnya memiliki loteng atau lantai atas, ada tangga kayu berukir yang konon masih asli. Tampak diplitur dengan warna coklat tua dengan sedikit kombinasi kuning emas. Namun akses ke lantai atas ternyata ditutup dan hanya digunakan pada waktu tertentu saja.
Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Kami kembali ke halaman. Sebuah foto tua rumah Coyett ini dipamerkan dan kemudian dibandingkan dengan bangunan yang sekarang. Tampak bahwa bentuknya masih sama kecuali warna dan pilar-pilar merah yang sekarang menandai bahwa rumah tuan besar ini sekarang sudah menjadi Klenteng.
Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Pak Lilik kembali melanjutkan ceritanya.  Coyet menikahi Geertruida Margareth Groossens pada 1736 di rumah ini.  Namun sayang pada saat malam pertama, Coyett meninggal dan Groosens langsung menjadi janda dan mewarisi rumah besar ini.

Rumah ini kemudian beberapa kali (sekitar 4 kali) berpindah tangan sampai akhirnya dibeli oleh Kapten Cina Lim Tjip Ko pada 1761.  Sejak saat itu, banungan berubah fungsi menjadi kelenteng. Kelenteng ini kemudian terkenal dengan nama Kelenteng Sentiong  atau juga kelenteng Kuburan Batu.  Ketika masa orde baru, nama kelenteng berubah menjadi Vihara Buddhayana.

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Pelesiran kembali ke tempo doeloe kali ini telah mengungkap kisah sebuah rumah yang menjadi saksi malam pertama maut dan kemudian menjelma menjadi vihara. Dalam perjalanan waktu, kita memang tidak tahu apa yang akan terjadi pada suatu bangunan?

Jakarta, September 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun