“Banyak jalan menuju Pahawang”, begitulah jawaban singkat sobat dan kawan lama yang memang tinggal di Lampung. “Bisa dari pantai Klara, bisa dari Puri Gading, namun yang paling populer dan praktis adalah dari dermaga Ketapang di Kecamatan Padang Cermin, kira-kira 45 menit atau 1 jam dari Bandar Lampung”.
Pagi itu, sekitar pukul 7.45 , kendaraan kami beriringan dari kawasaan Puri Gading menuju Ketapang. Kondisi jalan cukup baik walau terasa agak sempit. Untungnya bukan hari minggu dimana biasanya akan banyak hambatan kemacetan yang disebabkan beberapa tempat
wisata di sepanjang pantai yang dilalui, sebut saja Pantai Mutun dan Sari Ringgung yang kian populer di pesisir barat Teluk Lampung ini.
“
Selamat Datang di Kawasan TNI-AL Teluk Ratai Lampung”, sebuah gapura menyambut semua kendaraan yang akan masuk baik ke dermaga Ketapang ataupun melanjutkan perjalanan ke Pantai Klara. Kendaraan kami belok kiri dan menuju ke dermaga 2. Disini tinggal parkir mobil dan perahu motor yang dipesan sebelumnya sudah siap untuk berlayar menuju ke pulau Pahawang.
“
Parkir Pulau Pahawang”, sebuah petunjuk berbentuk papan putih yang dicat dengan tulisan warna hitam lengkap dengan tanda panah teronggok begitu saja di tepi jalan. Sementara di dinding sebuah bangunan bahkan tertulis dengan cat merah: “
Penyeberangan Pulang Kelagian, Pulau Pahawang, Pulau Tjg Putus”.
Selain perahu motor yang bisa muat sekitar 20 penumpang, banyak juga speed boat yang bisa melaju kencang. Sayangnya kapasitas speed boat hanya 6 penumpang dan bagi yang tidak biasa berlayar terasa lebih menyeramkan melompat-lompat di atas air laut dengan kecepatan lumayan tinggi. “Dengan perahu motor , lebih enak dan santai, juga lebih aman sekaligus lebih punya banyak waktu menikmati indahnya suasana berlayar di Teluk Lampung ini”, tambah tukang perahu.
Pulau pertama yang terlihat langsung dari dermaga Ketapang adalah Pulau Kelagian. Perlu waktu lebih dari satu jam untuk sampai ke spot pertama yaitu taman laut di dekat Pulau Pahawang yang juga disebut “
Nemo Reef”. Menurut sobat saya tempat inilah yang paling bagus batu karang serta banyak ikannya. Perahu segera membuang jangkar dan rombongan siap untuk berenang.
Berenang di Nemo Reef ini akan lebih asyik bila menggunakan peralatan untuk snorkeling. Dengan “
kaki bebek” kita dapat berenang cepat tanpa perlu mengeluarkan terlalu banyak tenaga. Dan melalui kaca snorkel itu kita dapat melihat pemandangan di bawah laut yang mempesona.
Ratusan ikan besar kecil dalam berbagai warna berenang di sekeliling. Nampak sangat dekat untuk dipegang, namun selalu luput karena pandai menghindar. Untuk lebih banyak mengundang ikan mendekat, beberapa lembar roti juga disebarkan ke laut. Dan di dasar laut yang tidak terlalu dalam, terumbu karang dalam berbagai bentuk yang indah juga terhampar membentang. Berenang di sini benar-benar mengasyikan. Kalau kita lelah, bisa sejenak naik ke perahu untuk sekedar beristirahat, minum ataupun mengudap makanan kecil.
Di dasar laut ada tulisan “
Taman Laut Pahawang” yang bisa kita lihat kalau berenang agak jauh sedikit dari perahu. Sementara di tempat lain ada replika raksasa bintang laut lengkap dengan tulisan
“Welcome to Nemo Reef” di dekatnya. Melihat semua ini ditemani dengan ratusan ikan-ikan yang berenang kesana-kemari memang membuat kita lupa akan waktu. Hanya ada satu kata: Asyik , asyik dan asyik.
Hari makin siang, tibalah waktunya untuk menikmati santap siang sambil perahu motor berlayar lagi mencari tempat lain. Tiba-tiba saja salah seorang dari rombongan ingin ke kamar kecil. Dan karenanya kami mencoba mampir ke sebuah keramba dimana ikan-ikan dibudidayakan. Namun tidak berhasil meminjam kamar kecil karena tidak ada orangnya.
Perahu kemudian berlayar menuju pulau Pahawang Kecil. Disini terlihat sebuah dermaga yang cantik dan juga sebuah villa yang besar dan terlihat mewah. Terbuat dari kayu dengan warna coklat kehitaman yang memberi kesan kuat, awet, tahan lama, sekaligus angkuh. “
Kita tidak boleh merapat di dermaga ini karena konon villa ini milik orang Perancis”, jelas abang tukang perahu lagi.
Dari sini, pelayaran dilanjut ke pulau Kelagian Lunik. Lunik sendiri dalam bahasa Lampung berarti kecil. Perahu kemudian merapat, dan keindahan pantai di pulau ini juga benar-benar menakjubkan. Pasirnya putih halus bak gula pasir, sedangkan airnya biru jernih memantulkan cahaya sang surya di siang bolong. Di pantai juga terlihat banyak orang yang sedang berenang atau hanya bermain air.
“Selamat Datang Pulau Kelagian Lunik” , sebuah gapura kecil nan sederhana berdiri dengan riang. Di tempat ini, juga tersedia warung kecil, kamar kecil serta mushallah kecil yang sederhana. Lengkap sudah serasi dengan nama pulaunya yaitu Kelagian kecil. Sementara di sebrang sana terbentang luas Pulau Kelagian Balak yang artinya Kelagian Besar. Syahdan kedua pulau ini menjadi satu dan hanya terpisahkan kalau air sedang pasang.
Pasir yang putih, air yang biru jernih, seakan-akan memanggil untuk menceburkan tubuh ke laut. Namun hati-hati, arus disini cukup kuat dan gradasi ke tempat yang dalam cukup mendadak. Cara melihatnya adalah dengan membedakan warna air lautnya saja. Warna biru tua berarti airnya cukup dalam.
Setelah cukup puas berenang dan bermain di laut, tiba waktunya untuk kembali ke Ketapang. Perahu segera kembali berlayar setelah sebelumnya membayar ongkos parkir di pulau sebesar IDR 25.000. “
Kalau kita berlayar lebih jauh menuju Tanjung Putus. Kita akan lewat Pulau Lelangga Kecil”. Ternyata seperti juga villa mewah di pulau Pahawang Kecil, pulau Lelangga Kecil ini juga tidak boleh dikunjungi oleh umum karena sudah dimiliki oleh konglomerat . “Sering terlihat kapal mewah bersandar di pulau ini dan penumpangnya biasanya orang penting”, tambah tukang perahu lagi.
Akhirnya perjalanan wisata di pulau-pulau di Teluk Lampung pun berakhir dengan merapatnya perahu di dermaga 2 Ketapang. Sementara di sisi lain terlihat dermaga 4 yang jauh lebih ramai dengan perahu-perahu yang banyak membawa wisatawan bahkan dari jakarta.
Betapa indah dan menjanjikan wisata bahari di propinsi paling selatan di Sumatera ini. Sayangnya sebagan pulau-pulaunya sudah tergadai, Baik kepada orang asing, maupun konglomerat !
Lampung, Oktober 2016
Foto-foto: dokumentasi pribadi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Travel Story Selengkapnya