Tokyo di Minggu siang, cuaca sedikit mendung di akhir bukan Juli. Namun tekad untuk terus mengembara dan menemukan hal-hal baru membuat hati tetap bersemangat untuk melangkah. Melangkah menapaki jalur kereta bawah tanah yang menggurita ke seantero kota. Dari Tokyo Cami, selesai menikmati kebab Turki yang lezat kaki melangkah kembali menuju stasiun Yoyogi Uehara.
Tujuannya kali ini adalah Sengakuji Temple yang letaknya tidak terlalu jauh dari Sengakuji station. Dari Yoyogi Uehara, dengan menggunakan kartu sakti “Pasmo”, kami naik Tokyo metro Chiyoda Line menuju Ayase dan turun di Omote-sandolalu, pindah Ginza Line arah Asakusa dan pindah lagi ke Asakusa Line tujuan Nishi Magome di Shimbasi. Total waktu perjalanan sekitar 34 menit sampai di stasiun Sengakuji. Di stasiun ini, informasi wisata cukup lengkap. Tinggal keluar lewat exit A2 dan mengikuti arah menuju Kuil Sengakuji. “Sengakuji Temple, Please go up to the ground level and turn right”, demikian tertempel pengumunan dalam Bahasa Jepang dan Inggris.
Sekitar 5 menit berjalan dan menyebrangi jalan raya, pintu gerbang kuil ini sudah nampak. Cahaya mentari yang ada di belakang gerbang membuat foto yang dijepret menjadi sedikit temaram. Memasuki halaman yang cukup luas, terdapat sebuah patung yang cukup megah mengawal kuil ini. Patung serang pria berpakaian tradisonal Jepang dengan senyum yang dingin.
“Oishi Kuranosuke”, demikian tertulis dalam huruf Kanji pada kaki patung ini. Siapakah dia? Tanya saya dalam hati. Pengembaraan ke makam dan juga melihat-lihat sovenir dan buku yang ada di gerai di halaman ini membuat saya teringat pernah menyaksikan film Ronin 47 yang dibintangi oleh Keanu Reeves beberapa tahun yang lalu.
Saya kemudian langsung menuju ke kompleks pemakaman yang ada di belakang kuil. Suasana agak sepi di minggu sore itu membuat hati sedikit bergetar. Ratusan makam yang tersusun rapih dan berundak-undak ada di sekeliling saya. Kerajaan orang mati, di kawasan Kota Tokyo yang kosmopolitan. Awalnya, sedikit sulit untuk menemukan orientasi arah di tempat ini karena kehidupan dan kematian seakan- akan saling bertaut mesra .
Deretan patung-patung batu dengan ukuran yang sama namun dalam bentuk yang bervariasi menyadarkan saya dari lamunan sejenak. Beberapa menit melangkah, ada lagi deretan patung yang unik karena hampir semuanya wanita dan tubuhnya dihiasi dengan rompi serta kepalanya ditutupi sejenis jilbab dari kain merah. Harikian senja, langit kian mendung, dan suasana sepi kian mencekam berlatar makam-makam dengan model khas Jepang di kiri kanan tangga yang menjadi jalan utama.