“Jepang masih di Palembang, Belanda di Lampung Sudah Kabur!”, frasa ini sangat melekat dihati karena merupakan kisah verbal yang diceritakan orang-orang tua sewaktu saya kecil. Kisahnya tentu tentang kekejaman di Jaman Jepang pada masa Perang Dunia ke II di abad lampau. Namun pengalaman mengembara di Jepang mengungkap kisah yang bersebrangan dengan kekejaman versi tentara di atas.
Terminal kedatangan Bandara Haneda cukup ramai pagi itu. Hari minggu ketika pesawat yang membawa kami dari Jakarta baru saja mendarat. Banyak pilihan transportasi untuk menuju pusat kota Tokyo, salah satunya dengan limosin bus ke kawasan Ikebukuro. Sayangnya ketika mau membeli tiket dijelaskan bahwa bus akan berangkat sekitar 5 menit lagi, dan kalau tiket dibeli sekarang pasti tertinggal bus yang ini dan harus menunggu jadwal bus berikut sekitar 1 jam kemudian.
img-5414-579ef6b7c4afbd06172995af.png
Akhirnya kami memutuskan naik monorail dan di lanjutkan JR Yamanote line. Ketika sedang melihat-lihat vending machine, seorang wanita muda dengan Bahasa Inggris lumayan baik menegur dan menawarkan bantuan. “
This is Sunday, and you will have a special price”, tukasnya sambil memencet-mencet vending machine. Ternyata ada combine ticket monorail dan JR Yamanote Line dengan harga hanya 500 Yen per orang. Sedangkan harga normal adalah 750 dengan rincian 480 Yen untuk monorali sampai di stasiun Hamamatchuo dan 270 Yen untuk JR Yamanote dari Hamamatsucho sampai ke Ikebukuro.
Wanita muda itu memang datang tanpa diminta dan keinginan membantunya langsung timbul ketika melihat ada yang terlihat sedikit bingung di vending machine. Peristiwa sedehana ini mencerminkan budaya penduduk setempat yang dengan tulus membantu orang asing, terutama dalam menunjukan tempat atau sekedar membelikan tiket.
Pengalaman di airport Haneda ini membuktikan bawa keramatamahan dan ketulusan membantu ini tetap tidak berubah dalam kurun waktu lebih dari 30 tahun. Karena di akhir tahun 1980an, peristiwa yang mirip juga dialami baik di Tokyo, Osaka , maupun Kyoto. Kala itu, berkunjung ke Jepang bahkan jauh lebih mengasyikan karena hampir semua nama stasiun dan petunjuk di kereta hanya menggunakan huruf Jepang . Kalau kita pergi ke suatu tempat yah harus rajin bertanya dan karena umumnya orang Jepang susah mengutarakan cara menuju ke tempat tersebut dalam Bahasa Inggris akibatnya mereka dengan senang hati akan mengantarkan kita ke tempat tujuan walau berarti harus meluangkan waktu dan tenaga ekstra.
img-5420-579ef0d490fdfd2f0d7ca850.png
Stasiun Yoyogi Uehara tidak terlalu besar untuk ukuran kota Tokyo. Namun mencari jalan ke Tokyo Camii walaupun sudah memiliki alamatnya tidaklah terlalu mudah. Akhirnya kami bertanya kepada seorang pemuda yang kebetulan lewat. Memakai kemeja lengan panjang warna putih, pria ini segera mengeluarkan
smartphone dan mencari lokasi itu.
img-5425-579ef11eb67e61dd1191bdca.png
Karena sedikit kesulitan menjelaskan jalan yang harus ditempuh, akhirnya dia hanya memberi isyarat tangan agar kami mengikutinya. Menyusuri jalan kecil di samping stasiun. Sampai di satu persimpangan, terus menyusuri jalan kecil hingga tiba di jalan raya dan belok kanan. Tidak jauh di seberang menara masjid yang khas dengan arsitektur Turki ini sudah terlihat. Namun pemuda itu belum puas kalau tidak mengantar hingga dekat dan tepat di sebrang jalan. Setelah yakin bahwa itu adalah tempat yang benar dituju, barulah dia kembali berjalan menuju ke stasiun Yogi Uehara dan kami hanya bisa mengucapkan Arigato Gozaimasta sambi tersenyum ramah.
img-5498-579ef17ace9273dd2aa8dd99.png
Yang lebih mengesankan lagi adalah keteraturan yang selalu ditampilkan di tempat umum seperti stasiun. Di stasiun Yoyogi Uehara ini, ada banyak sekali sepeda yang diparkir. Rupanya penduduk sekitar memakai sepeda dari tempat tinggal masing-masing dan kemudian berganti naik kereta ke tempat tujuan mereka. Sepeda ini diparkir berbaris rapih dan menggunakan sistem parkir elektronik yang cukup canggih. Semuanya tanpa menggunakan interasi dengan manusia.
img-5521-579ef542ce9273162ba8dd93.png
Sementara itu, di dekat stasiun Sengajiku, juga ada lagi hal yang unik, yaitu sistem parkir mobil bertingkat sebagai jawaban keterbatasan lahan yang ada di Tokyo dan kota-kota besar di Jepang dengan menggunakan teknologi.
img-5526-579ef420589373970ff5f0f2.png
Selain itu kawasan Fish Market di dekat stasiun Tsukijishijo ada sebuah pompa pengisian bahan bakar yang memanfaatkan teknologi agar tetap bisa berfungsi dengan efisien dan efektif walaupun dengan sumber daya alam yang sangat terbatas. Lahan yang sangat sempit bisa diatasi dengan cara kabel dan meteran yang digantung di langit-langit seperti tampak di foto ini.
img-5725-579ef4e7b67e61031291bdcb.png
Kembali mengenai keramahan dan ketulusan membantu. Pengalaman serupa terjadi di Yokohama, tepatnya di stasiun Sakuragicho, Tujuan kami adalah Sakuragicho Washington Hotel yang menurut info letaknya tidak jauh dari stasiun. Sementara mencari peta informasi baik di stasiun subway maupun stasiun JR belum juga ketemu. Ada seorang pemuda yang kemudian bersedia mengantarkan kami sampai ke depan stasiun dan kemudian menunjukan hotel yang persis ada di sebrang.
Singkatnya kesan “Jepang masih di Palembang, Belanda di Lampung sudah kabur” yang menggambaraan kejamnya orang Jepang sama sekali akan pupus terkikis oleh keramahan dan ketulusan rakyat yang kita temui.
Jadi yang terkenal kejam dan bengis sesungguhnya adalah tentara Jepang yang sedang dalam kondisi perang saat itu. Sedangkan kesopanan dan budaya menghormati tamu masih sangat terjaga di tengah kemajuan teknologi yang ada. Hal ini juga masih bisa diperhatikan dalam adegan saling membungkuk antara penumpang dan pramugari yang terjadi dalam penerbangan dari Haneda ke Soekarno-Hatta. Adegan saling membungkuk ini hanya berakhir bila yang dipandang lebih tua berhenti membungkuk terlebih dahulu. He he.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Travel Story Selengkapnya