Setelah menyusuri gang kecil yang sedikitbecek dari rumah Pitung, akhirnya kami tiba di pagar masjid Al Alam. Â Tulisan pertama yang terbaca adalah petunjuk arah menuju Pantai Marunda . Â Sekilas kompleks masjid terletak di sebidang tanah yang cukup luas, bahkan halamannya terasa lebih luas dibandingkan dengan bangunan masjid dan pendoponya .Â
Tulisan dua kalimat syahadat dalam huruf hijaiyah serta Allah dan Muhammad mengapit nama Majid Al Alam Marunda yang ditulis dengan huruf Latin. Warnanya cerah gabungan rona pelangi lengkap dari merah sampaiungu, sementara tiang pintu gerbang dicat kuning cokelat.Â
Sambil menunggu pengurus masjid yang akanmenjelaskan sekilas mengenai sejarah masjid ini, saya berjalan sendiri menujuhalaman samping yang ada di belakang mihrab. Ternyata sebuah kompleks kuburan yang tidak terlalu luas. Ada beberapa puluh makam yang sekilasterlihat kurang terurus: beberapa masih ada nama dantahun meninggal yang belum terlalu tua.Â
 Namun yang menarik adalah sebuah bangunanberbentuk cungkup yang tidak terlalu besar. Hanya cukup untuk saru pusara saja.Di dekat pintu ada prasasti yang tulisannya sudah agak pudar. "Al Habib Abdul Halim Marunda", demikian nama di Prasasti itu.  Melalui sebuah pintu tanpa daun saya masuk ke cungkup. Sebuah pusara yang diselimuti kain hijau ada di dalamnya. Dan sebuah sajadah terlipat rapih di atas pusara
Dengan hati penasaran saya kemudian bergabung dengan Adep yang sudah duduk manis di beranda bersama pengurus masjid . Seorangkakek berusia sekitar 70' tahunan berpenampilan sederhana dengan kopiah hitam,kaos hitam dan sarung cokelat tua. Sambil membetulkan posisi kacamata , kakek tua itubercerita sekilas tentang majsid Al Alam ini.
"Masjid ini menurut cerita dibangun pas awalabad ke 16 Â dan konon karena kesaktian para wali selesai dalam waktu satu malam saja." , demikian sang kakekmemulai kisah . Bentuk bangunan masih asli dengan sedikit perubahan terutamapada dinding dan lantai keramik. Â Namunempat sokoguru nya masih asli. Â Demikiantambahnya.
 Adzan ashar tiba-tiba saja berkumandang .  Acara bincang-bincang pun disudahi sejenak untuk sholat berjamaah.  Saya sempat mengintip  ke ruang  sholat yang  tidak terlalu luas dan hanya terdiri daribeberapa saf. Karpet merah tua terhampar di lantai sementara empat tiang yangkhas di cat warna putih . Â
Sebelum sholat kami diantar  ke tempat wudhu yang juga sangat unik Bentuknyamerupakan sebuah sumur tua dimana kita harus menimba airnya terlebih dahulu. Dijelaskankalau air nya terudiri  dari tiga rasa yaitu hambarpayau dan asin. Tidak mengherankan karena lokasi masjid memang sangat dekatdengan pantai. “Air ini juga berkhasiat menyembuhkan bermacam penyakit", tambah sang kakek itu lagi.
 Selesai sholat, saya penasaran menanyakantentang makam siapakah yang ada di dalam cungkup. Jawaban sang kakek cukupmengagetkan.  "Sewaktu jaman Gus Durtiba-tiba saja makam itu dibangun dan dibuatlah cungkup".  Dikisahkan bahwa disitu dimakamkan Habib Marunda. "Setahu saya dulunya disitu tidak ada makam dan tempat saya main kelerengwaktu kecil"   Wah , kalau begitumakamnya bodong walaupun menurut sang kakek sekarang cukup banyak orang yangberziarah kesini. Â
 Saya kemudian melihat ke pendopo majsid dimana terdapat sebuah bedug tua dan ada beberapa orang duduk santai. Dipojok ada seorang lelaki berusia lima puluhtahunan yang menjual peci dan kopiah . Di depan pendopo ada papan berisi keterangan bahwa tempat ini merupakansitus bersejarah yang dilindungi.
 Kunjungan kami di masjid tua yang dibangundalam waktu semalam dan makam Habib yang katanya kosong di akhiri dengan foto bersama di halaman dengan latar belakang masjid tua dan pintu gerbang nya yang berwarna pelangi.
Benar tidak nya makam ini bodong? Wallahu a'lam bishawab.!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Travel Story Selengkapnya