Blusukan di kawasan Marunada,Cilincing, Jakarta Utara memang mengasyikan. Jalan-jalan yang sempit serta aroma laut Teluk Jakarta yang khas selalu membuat jiwa dan raga bergembira. Bergembira dalam kesederhanaan suasana dan pengembaraan dalam kazanah sejara bercampur legenda yang menghanyutkan.
Bus rombongan Plesiran TempoDoeloe kali ini di parkir di tempat sederhana yang cukup luas. Latarbelakangnya juga hebat – deretan "apartemen mewah" “Rumah Susun Marunda” yang kondang berkat liputan media tetang Gubernur Ahok. Dari sini, kita beramai-ramai jalan kaki di jalan kecil yang hanya bisa dilewati sepeda motor.
Begitulah bisikan hati ketika melihat tanda “Dinas museum dansejarah DKI Jakarta” serta pintu gerbang dengan tulisan “Rumah Si Pitung”. Puluhan derap kaki memasuki halaman yang luas dengan beberapa bangunan.
Bangunan pertama adalah yang menjadi pusat atraksi yaitu rumah Si Pitung, sedangkan bangunan bertingkat di belakangnya adalah Cafe Schout yang siang itu tutup. Mungkin karena bulan puasa dan juga tidak terlalu banyak pengunjung di siang yang cerah tanpa awan itu.
Rumah si Pitung sendiri merupakan bangunan tradisional dari kayu dan merupakan rumah panggung . Saya naik dari tangga di bagian belakang yang ternyata merupakan beranda rumah. Ada perabotan berupa tempat duduk model kuno yang antik dan masih terawat.
Di meja bundarnya bahkan ada beberapa toples berisi penganan tradisional Betawi. Tapi jangan coba-coba dimakan! Karena itu hanya tiruan saja. Di pojok serambi, ada juga manekin berpakaian khas Betawi lengkap dengan peci hitam. Lucu manekinnya tidak memiliki wajah alias polos saja.
Saya masuk ke dalam rumah dan sampai di ruang tamu. Sebuah lampu gantung antik ada di langit-langit, kursi rotan dan meja bundar yang dirapatkan di dinding. Sementara sebuah lukisan bergambar sepasang pengantin Betawi terpampang manis di dinding. Judulnya pengantin musiman dan merupakan lukisan tahun 1967.
Kembali ke ruang tamu dan membaca lanjutan kisah Pitung. Kali ini menggambarkan akhir hidupnya di mana Pitung sering muncul di Marunda dan akhirnya berhasil ditembak oleh Belanda menggunakan peluru emas. Ada nukilan tentang saat saat terakhir hidupnya ketika dibawa ambulan ke rumah sakit. Pitung sempat minta minum tuak sebelum ajak menjemput.
Namun dari semua itu, ada sedikit pertanyaan yang cukup menggelitik. Apakah di jaman itu, di akhir abad ke 19 sudah ada ambulan? Bukankah mobil sendiri baru ada di Pulau Jawa sekitartahun 1910 an? Atau barangkali si Pitung dibawa dengan ambuan delman yang ditarik kuda?