“Yuk ke Imogiri”, ajak saya kepada rombongan selepas berziarah ke Makam Raja-Raja Mataram di Kotagede. Kendaraan kemudian dipacu melalui jalan-jalan yang lumayan ramai menuju ke sebelah selatan Kota Yogyakarta. Biarlah hari ini diisi dengan jalan-jalan ke makam. Ketika sampai di kawasan Imogiri, waktu sudah menunjukan sekitar pukul 4 Sore. Karena ingat beberapa tahun lalu pernah juga ke tempat ini dan bisa naik kendaraan ke bagian atas makam, kami mencoba bertanya dengan seseorang yang ada di dekat tempat parkir.
“Coba kembali ke pertigaan jalan kemudian belok kiri dan ikuti jalan yang menanjak. Kalau di sebelah kiri ada warung “Pemadam Kelaparan”, ikuti jalan yang menurun” , begitu saran yang disampaikan sambil menambahkan bahwa lebih baik pakai jasa penunjuk jalan supaya tidak tersesat. Kami kemudian mencoba mengikuti saran orang tadi. Belok kiri dan kemudian ikut jalan yang menanjak dan berliku. Terlihat di kejauhan anak tangga dan bangunan-bangunan di kompleks pemakaman Imogiri. Namun ketika sampai di warung Pemadam Kelaparan, barulah kami ragu untuk ikut jalan yag menurun mengingat kondisi jalannya agak jelek. Akhirnya kendaraan kembali ke pintu utama dimana tertulis “
Sugeng Rawuh Ing Pasreyan Dalem Para Nata, Pajimatan Girirejo Imogiri”.
Dari tempat parkir perjalanan dimulai menanjak sedikit menyusuri gerai makanan dan suvenir. Sebagian besar sudah tutup karena hampir tidak ada lagi pengunjung yang naik. Kebanyakan hanya mereka yang turun karena telah selesai ziarah atau pun
wisata. Setelah berjalan sekitar lima menit, di sebelah kiri, ada sebuah pintu gerbang dengan tembok yang lumayan tinggi dan bercat putih. Tangganya sedikir curam walau hanya ada sembilan dan memiliki pegangan dari besi bercat hijau. Setelah naik tangga, terhampar lah di hadapan sebuah tempat terbuka yang cukup luas dan sekaligus merupakan kaki bukit merak yang menjadi tempat pesareyan atau pemakaman raja-raja Mataram.
Di sisi sebelah kiri ada sebuah masjid tua yang terlihat cukup terawat apik. Di depannya ada sebuah jam berbentuk tugu yang dibagiaan bawahnya dihiasi oleh sebuag prasasti bertulikan huruf honocoroko. Tepat di bawah jam ada tulisan PXB yang merupakan lambang Pakubuwono X.
Sebuah papan informasi mengenai silsilah raja-raja di nusantara juga ada di dekat masjid. Silsilah ini dimulai dari Kutai, Kalingga, Tarumanegara, sampai ke Pajang, Mataram Kartasura, Surakarta dan Yogyakarta. Di silsilah ini kita bisa melihat kekerabatan para raja-raja terebut dari jaman Hindhu Buddha sampai ke jaman Islam.
Dan tepat di sebelah kanan silsilah ini, terpampanglah ratusan anak tangga yang terlihat bertingkat-tingkat tidak kelihatan ujungnya. Di kedua sisinya dinaungi deretan pohon-pohon besar tua dan rindang membuat deretan anak tangga ini tetap terasa teduh. Namun sempat hati berkata, apakah akan sanggup naik sampai di atas.?
Dengan perlahan, satu demi satu anak tangga mulai didaki. Ternyata masih cukup banyak orang yang ada di sepanjang tangga ini. Ada yang ingin berziarah, banyak lagi yang sedang turun, dan asyiknya lagi ada juga yang menggunakan tangga ini untuk berolahraga.
Di sisi sebelah kanan tangga, terdapat cukup banyak pusara yang berkelompok membentuk kluster-kluster tersendiri. Ini adalah kompleks pemakaman mereka yang masih termasuk keluarga keraton . ada beberapa kelompok yang terdiri dari beberapa tingkat dan semuanya dinaungi dengan pohon-pohon tua yang rindang dan seakan-akan penuh misteri.
Setelah mendaki sekitar 400 lebih anak tangga. Kita sampai hampir di puncak. Seorang wanita berumur tigapuluhan menjual buku tentang pemakaman Imogiri i.
“Tinggal 68 anak tangga lagi sebelum sampai ke kompleks pemakaman Sultan Agung” tukasnya lagi sambil meberi semangat dan juga tetap membujuk saya untuk membeli bukunya. Dari buku ini bisa dilhat denah letak makam raja-raja ini secara detil.
Makam Pahlawan Nasional Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Agung Prabu Hanyokrokusumo, sesuai surat keputusan Presiden Republik Indonesia tanggal 3 November 1975. Demikian terdapat sebuah prasasti dari marmer dan di bawahnya terdapat sebuah prasasti yang sama dengan tulisan
“Makam Pahlawan Naional Jendral TNI Gusti Pangeran Haryo Adipati Djatikusumo 1917-2002 “, sesuai surat keputusan Presiden Republik Indonesia tertanggal Nopember 2002.
Dua prasasti ini lah yang ada di dalam beranda setelah gapura utama yang terbuat dari susunan bata merah dengan arsitektur mirip candi-candi Hindhu. Di halaman dalam ini banyak terdapat bangunan kecil berbentuk joglo dihiasi taman kecil dan pepohonan yang rindang.Di sebelah kanan ada sebuah bangunan semacam pendopo beratap limasan bertingkat dua. Terlihat kosong , namun di bagian sebelah kiri, ada bangunan yang mirip dan nampak sekelompok orang sedang mengaji ayat-ayat suci Al-Quran. Seorang wanita berusia 40 tahunan menegur saya dan bertanya dari mana asal saya.
Dijelaskan juga bahwa waktu ziarah hanya sampai pukul 13 dan juga beberapa aturan yang harus dipenuhi bila mau masuk ke kompleks makam. Di antaranya harus berpakaian adat jawa dan juga tidak boleh mengenakan alas kaki. Persis di dasar anak tangga yang menuju ke gerbang makam yang tertutup rapat terdapat pengumuman yang melarang pengunjung berpakaian beskap landung, berjubah, memakai alas kaki, kain lereng, memakai remong selendang dan juga perhiasan emas masuk ke kompleksmakam.
Namun yang paling menarik, di dekat pintu gerbang makam terdapat empat buah tempayan besar yang diletakkan di dalam tempat berbentuk kerangka kayu berwarna coklat. Masing-masing tempayan memiliki nama yag cukup unik tertulis dalam huruf Jawa dan Latin. Kyai Danumaya terletak di sebelah kiri pintu gerbang, sedangkan yang lainya bernama Nyai Danumurti, Kyai Mendung dari Merum, dan Nyai Siyem.
Ternyata tempayan ini dulunya digunakan sebagai tempat air wudhu dan masing-masing berasal dari tempat yang berbeda. Kyai Danumaya berasal dari Aceh , Nyai Danumurti dari Sriwijayam ,Kyai Mendung sari Turki, dan Nyai Siyem dari Siam atau Thailand. Pada saat ini, setiap setahun sekali pada Jumat Kliwon atau Selasa Kliwon Bulan Sura akan diadakan acara Nguras Enceh dimana air suci dari keempat tempayan tersebut dikuras dan diibersihkan. Asyiknya lagi Kyai Danumaya dan Nyai Danumurti yang berada di sebelah barat dikuras oleh abdi dalem Kraton Suratkarta sedangkan Kyai Mendung dan Nyai Siyem yag ada di sebelah timur dikuras oleh abdi dalem kraton Yogyakarta. Dan setelah dicek di denah ternyata letak makam raja-raja Surakarat memang terdapat di sebalah barat sedangkan di sebelah timur terletak makam raja-raja Yogyakarata,
Dikisahkan bahwa Sutan Agung merupakan raja yang sakti mandraguna . Walaupun tinggal di tanah Jawa, mampu selalu menunaikan sholat Jumat di Mekah. Karenanya, Sang Sultan juga mengajukan keinginan untuk dimakamkan di Mekah apabila telah meninggal. Oleh para ulama di Mekah beliau diberi segenggam tanah dan kemudian dilemparkanlah sebagian tanah tersebut dan sampai di Bukit Giriloyo. Maka dibangunlah makam di bukit Giriloyo ini. Namun komplekspemakaman disini kemudian dipakai oleh pamannya yang meninggal terlebih dulu. Sisa tanah tadi dilemparkan lagi dan mendarat di Bukit Merak yang kemudian menjadi kompleks pemakaman Imogori yang mulai dibangun pada tahun 1632. Sultan Agung sendiri meninggal pada 1645 dan menjadi raja pertama yang dimakamkan disini.
Hari makin sore. Saya pun mulai menuruni tangga dan sampai di tempat dimana terdapat sebuah kolam ikan emas yang dipugar pada 1988. Di dekatnya terdapat papan pengumuman tentang jam buka makam . Tertulis juga bahwa makam ditutup pada setiap Bulan Ramadhan.
Tidak jauh dari pengumuman ini, ada sebuah pengumuman lain yang isinya cukup menggelikan. “Perhatian: Para Pengunjung /Peziarah makam Imogiri dilarang membawa/membunyikan Radio Tape , alat musik, serta bunyi2an lain.” Demikian sebagian cuplikan larangan yang cukup menggelitik karena mungkin saja dibuat pada masa dimana kita masih sering membawa radio tape sambil jalan2.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Travel Story Selengkapnya