“Pasareyan Raja-Raja”, demikian papan petunjuk berwarna hijau yang ada di halaman Masjid Gede Mataram di Kota Gede mengarahkan ke arah kiri. Sementara di dekatnya juga ada lagi papan petunjuk bewarna coklat dengan tulisan “Makam Raja-raja Mataram” dan terjemahannya “The Tomb of the Kings Mataram”. Sepintas ada sedikit kesalahan tata bahasa pada terjemahan Inggris ini?
Sebuah pintu gerbang berbentuk paduraksa yang dilengkapi dengan atap bersusun empat lengkap dengan mastaka di puncaknya yang berukir Batara Kala dengan cuping ganda. Suasana Hindhu sangat kental di kawasan ini. Apalagi dengan tembok yang terbuat dari bata merah di lengkapi dengan menara-menara kecil bersusun tiga.
Memasuki Gapura ini, kita akan sampai di tembok bagian dalam yang juga terbuat dari susunan bata merah. Dan di dinding tembok tersebut ada sebuah prasasti bebentuk bujur sangkar dengan tulisan “ Kandjeng Panembahan Senopati Bertahta Keradjaan Mataram” 1509 Tahun Djimawal (1579 Tahun Masehi) Wafat 1532 Th Ehe (1601 Tahun Masehi) Kuburdi Kota Gede”.
Halaman kompleks pemakaman raja-raja Mataram ini tampak cukup asri. Rerumputan yang hijau, pepohonan yang rindang dan juga beberapa pagar hidup yang dibentuk dari pohon-pohon yang dipangkas dengan cantik. Sementara tembok bata merah lengkap dengan paduraksa dan menara-menara kecil seakan-akan membawa kita naik mesin waktu kembali ke kisaran waktu abad ke 16.
Sebuah bangunan berbentuk pondok kecil beratapkan genting ada di pojok kiri. Namanya Bangsal Duda dan di depannya bertuliskan
“Kelompok Usaha Bersama (KUB) Abdi Dalem Juru Kunci Pasarean Kuthogede Mataram Ngayoajarti – Surokarto”. Rupanya di pondok ini dijual berbagai macam cendra mata dan kerajinan para abdi dalem sehingga mereka memiliki penghasilan tambahan.
Selain Bangsal Duda , ada beberapa pondok lainnya di halaman ini. Salah satunya adalah tempat dimana para pengunjung diminta untuk mengisi buku tamu dan juga memberikan sumbangan sukarela. Di tempat ini juga kita bisa meminta ijin untuk berziarah ke makam para raja. Dan salah satu syaratnya adalah harus berpakaian tradisional Jawa yang dapat disewa di tempat ini.
Di dekat sebuah pohon di halaman terdapat sebuah papan yang berisi peraturan untuk masuk ke makam dimana wanita diharuskan mengenakan kain jarik, kemben, dan lepas jilbab, serta laki-laki juga harus mengenakan peranakan, kain jarik dan blangkon. Bukan itu saja, ada juga aturan dilarang memotret di dalam makam.
Di kompleks makam ini juga terdapat Sendang Seliran yang merupakan kolam pemandian yang terdiri dari Sendang Lanang untuk kaum lelaki dan Sendang Wadon untuk kaum perempuan. Di sendang ini banyak terdapat ikan lele bule yang berenang-renang dengan riangnya.Kembali ke halaman dalam . Ada juga pondok yang dinamakan Bangsal Pengapit Ler yang merupakan tempat pengunjung perempuan untuk bersitirahat. Sementara di sebrangnya adalah Bangsal Pengapit Kidul yang merupakan tempat untuk para pengunjung pria beristirahat.
Setelah memakai kain jarik yang berwarna kombinasi coklat, hitam dan putih serta baju peranakan dengan corak garis-garis berwarna biru tua lengkap dengan blangkon dengan corak batik berwarna hitam coklat dan putih, maka jiwa dan raga sudah siap untuk berziarah ke kompleks makam. Di temani oleh seorang abdi dalem yang bertugas sebagai pemandu. Tugas pertama adalah menitipkan alas kaki di dekat Bangsal Pengapit Kidul dan berjalan perlahan menuju ke pintu gapura utama yang tertutup rapat.
Di sebelah Kanan pintu utama terdapat pengumuman dalam Bahasa Jawa tertulis dalam aksara Latin “
Mboten Pareng Ngagem Alas Kaki” alias dilarang memakai alas kaki. Pak pemandu segera berjongkok dan membuka gembok pintu yang terbuat dari kayu berukir berwarna coklat tua. Karena tebalnya tembok ini, ukiran di pintu bahkan mencapai langit-langit sehingga menambah kesakralan tempat ini.
Gembok kemudian terbuka. Dengan langkah-langkah kecil, bagian dalam makam pun dimasuki. Segera terlihat puluhan pusara yang terlihat tua dan sederhana, namun terawat rapih dan bersih. Selain di ruangan terbuka , ada juga yang dinaungi bangsal-bangsal sederhana.Namun tujuan utama berziarah adalah sebuah bangunan yang cukup megah dan dinamakan “
Bangsal Prabayaksa” dimana di dalamnya ada 72 pusara yang terbuat dari marmer . DI dalam bangunan utama inilah para raja-raja Mataram disemayamkan seperti Ki Ageng Pamanahan, Panembahan Senopati, Hamengku Buwono II, Paku Alam I, II,III, dan IV, serta para keluarganya.
Di depan bangsal Prabayaksa ini terdapat sebuah prasasti bertulisakan aksara Jawa. Sayangnya saya tidak dapat membacanya. Dan kembali ada sebuah pintu besar yang tertutup rapat dengan gembok. Pintuiniterlihat indah dengan ukira-ukiran yang detail.
“Monggo”, demikian ucap pak pemandu mempersilahkan masuk ke dalam bangsal. Dan di dalam sini saya terkesima. Puluhan makam berderet bersaf-saf dengan jarak antara satu makam dengan makam lainnya hanya cukup untuk satu orang berjalan sambil memiringkan tubuh.
Di bagian yang agak tinggi terdapat sebuah makam yang dihiasi dengan kain dan juga untaian bunga tujuh rupa. Selain itu, hamparan bebungaan juga tersebar di atas pusara, “
Ini Makam Ki Ageng Pamanahan”, kata pak pemandu dalam bahasa Jawa Kromo Inggil. Setelah cukup lama berjalan, sekaranglah waktu sejenak untuk mengadahkan tangan dan menundukkan kepala. “
Cekap?”, tanya bapak itu lagi dan kemudin mennunjukan ke pusara yang tidak jauh dari makam Ki Ageng Pamanahan. “
Ini Panembahan Senopati” katanya lagi sambil meminta kami untuk duduk sebentar di hadapan makam.
Dari makam Panembahan Senopati, masih juga kami ditunjukan beberapa makam raja-raja yang lainnya sebelum akhirnya meninggalkan Bangsal Prabayasa ini. Ketika sampai di halaman, terlihat beberapa orang penziarah lain yang juga sudah siap menanti giliran untuk masuk ke dalam bangsal.Pengalaman sejenak berziarah ke makam raja-raja Mataram yang selama ini hanya dikenal di buku-buku sejaranh memang memberikan suatu pengalamana tersendiri.
Suasana misteri bercampur dengan rasa ingin tahu dan penasaran. Ada gairah tersendiri yang khas dan unik. Apalagi dengan berpakaian adat Jawa. Dengan pakaian itu, Kita merasa telah menjadi Jawa dan mendapatkan kunci menuju makam para raja Mataram ini.
Kesunyian dan suasana yang sakral membuat perjalanan ini menjelma menjadi sebuah pengembaraan yang memperkaya jiwa. Mengembara ke makam para raja, yang mengingatkan bahwa semua orang baik raja maupun rakyat jelata pasti akan mati. Dan ketika meninggalkan kompleks ini terlihatlah pohon beringin raksasa tua di tempat parkir yang bernama
Wringin Sepuh.foto-foto : dokumen pribadi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Travel Story Selengkapnya