“Mana dia Masjidnya”, itu pertanyaan yang tidak sengaja dilontarkan ketika kendaraan kami tiba di tempat parkir "Masjid Gede dan Kompleks Makam Raja-Raja Mataram” yang terdapat di kawasan Jagalan, Kota Gede. Setelah sempat sedikit tersesat karena mengkiuti google map, akhirnya lokasi masjid ini dapat ditemui setelah bertanya kepada penduduk setempat.
Maklum , dari jauh sama sekali tidak ada tanda-tanda sebuah masjid. Yang ada adalah Paduraksa, atau pintu gerbang kuno yang arsiterkurnya mirip dengan candi-candi dari jaman Majapahit atau jaman-jaman sebelumnya . Setelah melewati Paduraksa ini, kita akan sampai di halaman masjid yang cukup luas dengan sebuah tembok penghalang yang masih menjadi ciri bangunan-bangunan Hindhu Buddha.
"Undang-undang RI No 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya Pasal 105” sebuah papan peringatan dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menegaskan bahwa Masjd ini merupakan cagar budaya yang dilindungi dan barangsiapa yang mengubah atau merusak bisa dihukum penjara sampai 15 tahun serta denda sampai 5 Milyar Rupiah.
Di dekatnya ada sebuah papan berisi informasi tentang sejarah dan juga arsitektur masjid ini. Dikisahkan bahwa masjid ini pada awalnya dibangun atas perintah Panembahan Senopati dan selesai pada Tahun Jawa 1511 atau 1589 Masehi. Masjid ini kemudian pernah terbakar pada tahun 1919 dan kemudian direnovasi hingga selesai pada tahun 1923. Sedangkan secara arsitektur juga dijelaskan bahwa masjid ini memiliki atap tajug bertumpang tiga pada bangunan utama dan limasan pada bangunan serambi.
Dari halaman masjid, tepat di pintu utama terdapat dua angka tahun bertuliskan 1856 dan 1926. Kemungkinan angka-angka ini juga menunjukan angka tahun renovasi ataupun perluasan masjid. Sebelum masuk ke masjid, kita harus melewati semacam parit yang mengelilingi masjid. Konon, parit ini dulunya juga digunakan sebagai tempat mengambil air wudhu.
Saya masuk ke dalam serambi yang cukup luas dengan banyak tiang-tiang dari kayu dan berlantaikan ubin berwarna abu-abu ke coklatan yang terlihat bersih dan memantulkan cahaya. Di pojoknya terdapat sebuah bedug besar lengkap dengan kentongannya yang lumayan panjang. Bedug ini , menurut cerita dihadiahkan oleh Nyai Periggit yang berasal dari desa Dondong di Kulon Progo. Atas jasanya ini, keturunan sang nyai diperbolehkan tinggal di rumah0rumah di sekekliling masjid yang dinamakan Dondongan.
Saya kemudian menuju ke bangunan kecil di samping masjid yang merupakan toliet dan tempat wudhu. Lalu melalui pintu samping masuk ke ruang utama masjid. Ruang ini ditopang olah beberapa tiang besar yang terbuat dari kayu dan langit-langit yang berbentuk limasan juga terbuat dari kayu.
Lantai masjid ditutupi karpet berwarna merah tanpa motif dan hanya berhiaskan garis-garis penanda saf. Di atas terlihat tergantung beberapa lampu antik yang menerangin ruang utama masjid ini. Dindingnya di cat berwarna putih, tanpa hiasn atau kaligrafi dan hanya ada satu jam besar yang menunjukan waktu-waktu shalat.
Mihrabnya sangat sederhana berbentuk ruangan yang menjorok kedepan. Sedangkan di sebelahnya terdapat sebuah mimbar yang terbuat dari kayu berwarna coklat ke hitaman. Ukirannya terlihat sangat cantik dan mimbar ini merupakan hadiah yang berasal dari Sultan Palembang.
Tidak lama kemudian, azan ashar berkumandang, dan setelah sholat berjamaah , saya pun meninggalkan masjid ini sambil kembali membayangkan suasana ketika masjid ini pertama kali dibangun di tengah-tengah masyarakat yang masih banyak memeluk agama Hindhu. Tanpa toleransi yang besar dan dakwah Islam yang lembut, tidaklah mungkin masjid ini masih berdiri megah setelah hampir 5 abad usianya.
Lihat Travel Story Selengkapnya