[caption caption="dokpri"][/caption]Tiba-tiba saja Saya terbangun, sedikit terhenyak dan seketika melemparkan pandangan ke sekitar. Di kejauhan, tampak sebuah pagoda putih. Di dekatnya sebuah tembok bertuliskan “Allah” dan lambang bulan bintang . Lalu di sekitarnya, hanya kesunyuian, deretan makam, batu nisan, mausoleum, dan kuburan dalam berbagai bentuk dan ukuran. Sekilas menyeramkan, namun tetap penuh tanda tanya dan kejutan yang mengasyikan.
[caption caption="dokpri"]
[/caption]Saya masih belum sadar berada dimana. Ah ternyata saya sejenak tertidur di kursi batu di sebuah kompleks pemakaman. Tiga buah makam ada di depan saya. Uniknya hanya tulisan Arab dalam abjad Hijaiyah dan aksara Cina yang ada. Dan barulah saya sadar bahwa ini adalah di pemakaman muslim di Taipei, tepatnya di
Chong De Street, di bukit-bukit
Liu Zhang Lie.
[caption caption="dokpri"]
[/caption]Sedikit-demi sedikit, daya ingat dan fikiran mulai lagi jernih. Barulah diingat bahwa pagi tadi , saya berangkat dengan taksi warna kuning tepat dari depan hote di Jalan Gong Fu South yang tidak jauh dari stasiun metro Sun Yat Sen Memorial Hall. Supirnya seorang kakek berambut putih yang walaupun terlihat tua namun masih gagah. Pasti sudah lebih dari 65 tahunan usiamya. Ketika saya serahkan kertas bertuliskan alamat di 282 Chong De Street, dia hanya tersenyum sambil menyebutkan
Liang pai pa she er yang artinya 282.
[caption caption="dokpri taufikuieks"]
[/caption]Namun ketika taksi sudah berjalan sekitar 10 menit dan mulai memasuki Chong De Street . Pengemudi baru sadar bahwa no 282 itu letaknya di atas bukit dan bukan merupakan rumah atau toko. Supir tersebut kemudian menghentikan taksi sambil berbicara panjang lebar yang saya kurang mengerti. Namun saya tahu maksudnya bahwa dia tidak mau mengantar saya ke alamat tersbeut dan menyuruh turun sambil meminta bayaran sesuai argo yang menunjukan angka 120 NT.
[caption caption="dokpri"]
[/caption]Akhirnya saya pun turun, dan dengan berat hati mulai melangkahkan kaki menyusuri Chong De Street yang mulai mendaki, sepi, dan berliku. Jalannya juga sempit dan sedikit menyeramkan. Lima menit berjalan, kumpulan kuburan tua sudah saya temui. Tidak jelas kuburan siapa, karena terlihat sangat tua dan tidak terurus. Sedangkan di kejauhan terlihat bangunan Taipei 101. Yang merupakan gedung tertinggi di Taiwan dan bahkan pernah menjadi gedung tertinggi di dunia pada saat selesai dibangun disekitar tahun 2005 an.
[caption caption="dokpri"]
[/caption]Saya terus berjalan, mendaki-dan mendaki. Jalanan tetap sepi. Hanya sesekali terlhat sepeda motor atau mobil yang lewat. Saya sempat mampir ke beberapa makam yang ada dan ternyata makam tua yang juga kurang terurus. Untungnya setelah kembali ke jalan raya saya sempat bertemu dengan sepasang lelaki dan perempuan yang terlhat mau berziarah karena membawa peralatan sembahyang seperti hio dan dupa.
[caption caption="dokpri"]
[/caption]Namun mereka berjalan lebih cepat, sedangkan saya berjalan perlahan sambil terus menikmati pemandangan yang indah kota Taipei di bawah dan makam-makam yang ada di Bukit Liu Zhang Lie ini. Tiba-tiba saja, di sebelah kiri, terlihat sebuah pintu gerbang khas Cina dan sebuah tangga dengan sebuah bangunan besar berkubah di ujung tangga tersebut. Pasti sebuah makam atau mausoleum.
[caption caption="dokpri"]
[/caption]Saya pun menaiki puluhan anak tangga ini untuk sampai ke sebuah bangunan berkubah yang di dalamnya ada sebuah makam. Namun pintunya yang terbuat dari pagar besi terkunci rapat. Terlihat kurang terurus dan jarang dikunjungi. Di tingkat sebelah bawahnya terdapat prasasati yang tertulis dalam Bahasa Aab dan Cina yang mungkin menceritakan tentang kehidupan yang empunya makam.
[caption caption="dokpri"]
[/caption]Lalu mulailah pengembaraan awal di dunia orang mati , khususnya pemakaman muslim di Taipei ini. Nama-nama Muslim yang dimulai dengan Muhammad, Abdullah, dan bahkan Zainab diteruskan dengan nama-nama dalam aksara Cina. Lengkap dengan angka tahun keahiran dan kematian yang semuanya dalam aksara Cina.
[caption caption="dokpri"]
[/caption]Setelah berjalan beberapa ratus meter. Pagoda putih di kejauhan tampak kian dekat. Jalannya mulai berbelok. Tetapi, Saya mengurungkan niat menuju ke pagoda karena tertarik dengan bangunan di sebelah kiri yang terletak jauh di atas bukit sana. Untungnya ada deretan undakan anak tangga yang jumlahnya cukup banyak. Kalau dihitung lebih dari tiga ratus sampai empat ratus sementara di sebelah kirinya bertngkat-tingkat kuburan muslim yang per kaplingnya cukup luas dalam berbagai bentuk yang indah dan unik. Uniknya sebagian jalan masuk menuju makam bahkan tertutup dengan sarang laba-laba yang secara gambalang menunjukan bahwa jalan ini tidak pernah dilewati dalam waktu yang cukup lama.
[caption caption="dokpri"]
[/caption]Sambil menaiki anak tangga perlahan-lahan dan sesekali beristirahat di kursi-kursi yang ada di depan makam saya pun terduduk dan sebentar beristirahat. Di tengah ribuan makam, saya memandang ke sekeliling. Tidak ada satu pun manusia yang ada. Ada terbesit sedikit rasa seram. Namun bangunan yang lebih megah di atas bukit masih memanggil-manggil. Rasa ingin tahu mengalahkan rasa takut dan juga lelah.
[caption caption="dokpri taufikuieks"]
[/caption]Saya terus mendaki dan mendaki sampai akhirnya sampai di jalan raya juga yang rupanya merupakan sambungan jalan tadi. Di sini dengan jelas terlihat pintu gerbang megah yang dari bawah sudah mengundang rasa ingin tahu. Di atasnya bahkan ada beberapa bangunan yang menyerupai kubah masjid dan juga bangunan dengan relung-relung yang juga mirip masjid . Semuanya terlihat bertingat-tingkat karena letaknya dilereng bukit.
[caption caption="dokpri"]
[/caption]Pada prasasti raksasa yang ada di pintu gerbang tertulis ratusan aksara Cina yang mungkin menceritakan mengenai makam ini. Namun kedua sisi anak tangga menju ke makam ternyata tertutup . Saya berjalan terus menuju ke bagian sampaing makan. Di sebelahnya masih banyak makam lain dan saya pun naik ke salah satu kompleks makam. Duduk di kursi batunya dan rupanya sejenak tertidur . Di sinilah kisah pengembaraan ke istana orang mati dimulai. Dimulai dengan terbangun dari tidur sejenak di kursi makam
[caption caption="dokpri taufikuieks"]
[/caption].Di sebelahnya ada sebuah kubah besar berbentuk bulat. Di dalamnya ada kursi-kursi batu yang mengelilingi sebuah prasasti. Mungkin sebuah makam, mungkin hanya sebuah cerita. Di atas langit-langit kubah inilah tertulis dalam Bahasa Inggris , dan juga ada banyak Aksara Cina dan sedikit Tuisan Arab. “Madam Pai Cheung Shi. She gave joy with her laughter, Comfort with her tenderness, Inspration with her courage, A trbute from Mr and Mrs K Philip Trutter”.
[caption caption="dokpri"]
[/caption]Dari bangunan berkubah ini, akhirnya saya bisa masuk ke makam utama. Ada dua buah makam dan di belakangnya pada sebuah dinding terlihat hal yang tidak biasa. Logo senapan dan juga Matahari putih dengan latar belakang langit biru yang merupakan bendera Republik Cina lengkap dengan tulisan dalam Bahasa Arab dan Cina.
[caption caption="dokpri"]
[/caption]Pada sepasang makam itulah tertulis nama yang dimakamkan yang ternyata merupakan sepasang suami istri. Baru kemudian saya ketahui bahwa ini adalah makam Jendral Bái Chóngxǐ atau juga Pa Chung Hsi yang merupakan salah satu jendral Muslim pendukung Chiang Kai Shek . Menurut cerita ada lebih dari 20 ribu tentara muslim yang ikut Partai Nasionalis Kuo Min Tang mengungsi ke Taiwan dan mendirikan Republik Cina di pulau yang bernama Formosa ketika mereka kalah dari komunis dibawah pimpnan Mao. Jendral ini bahkan merupakan mentri pertahanan pertama Republik Cina.
[caption caption="dokpri"]
[/caption]Sedangkan sang istri bernama Ma Pei Chang dan makamnya ada di sebelahnya. Dari informasi yang terdapat dimakam ini dapat diketahui bahwa Jendral ini dimakamkan di tempatini ketika meninggal pada 1966 dalam usia 73 tahun. Sumbangan prajurit muslim ternyata cukup signifikan dalam sejarah Taiwan sehingga kompleks makam jendral di pemakamam muslim di Liu Zhang Li ini kemudian dibangun dengan sangat megah bak istana. Istana untuk orang mati.
[caption caption="dokpri"]
[/caption]
Namun siapakah yang berkunjung ke tempat ini? Hanya pengembara makam yang penuh rasa ingin tahu seperti saya. Yang bahkan harus berjalan kembali menuju ke stasiun metro Liu Zhang Lie di siang yang mendung di pertengahan bulan Maret di Taipei. Kembali ke dunia nyata yang ramai setelah sejenak mengembara ke istana orang mati.
Taipei Maret 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Travel Story Selengkapnya