Mohon tunggu...
Taufik Uieks
Taufik Uieks Mohon Tunggu... Dosen - Dosen , penulis buku travelling dan suka jalan-jalan kemana saja,

Hidup adalah sebuah perjalanan..Nikmati saja..

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

33 Tahun Tak Basuo, Sekali Basuo di dalam Kokpit

10 Desember 2015   08:49 Diperbarui: 10 Desember 2015   10:05 843
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pesawat  Sriwijaya Air sudah parkir manis di apron Bandara International I Gusti Ngurah Rai di Denpasar ketika calon penumpang dengan teratur berbaris rapih menaiki tangga dan dalam waktu kurang dari 15 menit kemudian pintu pesawat pun ditutup. Pesawat siap terbang menuju Bandara Soekarno-Hatta.

Saya sempatkan mencuri pandangan ke luar melalui jendela kaca kecil. Udara cerah berawan tipis di sore yang indah itu. Pramugari bersiap-siap untuk melakukan demo keselamatan penerbangan sesuai dengan CASR atau Civil Aviation Safety Regulations yang sering juga diterjemahkan menjadi Peraturan Keselamatan Pennerbangan Sipil.

Chief Purser atau penyelia kabin seperti biasa dengan suara merdu mulai menyapa penumpang dengan kata-kata yang baku. Yang biasa kita dengar setiap naik pesawat dimulai dengan Bahasa Indonesia dan kemudian Bahasa Inggris. Namun kali ini ada sedikit yang istimewa. Sesuatu yang lain, sesuatu yang membangkitkan kenangan lama sewaktu muda dulu. Waktu yang begitu indah dan tidak akan terulang kembali.

“Atas nama Kapten Lokawati dan seluruh awak pesawat , kami mengucapkan selamat datang di pesawat Sriwijaya Air dengan nomer penerbangan........ menuju ke Bandara Soekarno-Hatta , Jakarta.Penerbangan ke Jakarta akan ditempuh dalam waktu......., “ , Pengumuman ini menyentak memori dan ingatan yang sudah lama tersimpan di bank data di dalam benak.

Hanya ada satu Lokawati yang saya kenal dan kebetulan waktu itu Loka adalah taruni penerbang di sekolah penerbangan dengan nama resmi Pendidikan dan Latihan Penerbangan Curug yang sekarang sudah berubah nama menjadi STPI atau Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia. Kebetulan , dalam angkatan yang masuk bersama Loka ada lagi seorang gadis bernama Tuti. Jadilah Loka dan Tuti kembang di sekolah yang didominasi para taruna itu.

Seluruh kampus tentu kenal Loka dan Tuti, demikian juga dengan rombongan para taruni yang semuanya kebetulan tinggal di barak November. Kebetulan angkatan saya masuk beberapa bulan lebih dahulu dibandingkan Loka dan Tuti. Dan tentunya banyak cerita yang terjadi di masa-masa muda dahulu.

Pesawat mulai terbang dengan mulus menuju Jakarta. Ketika awak kabin mulai berjalan dan menyusuri lorong tengah dan menawarkan barang-barang yang dijual seperti kaos, Pashimina, dan pernak-pernik lainnya saya membeli sebuah T Shirt berlogo Nam Air sekalian bertanya apakah sang kapten bernama lengkap Lokawati Nakagawa.

“Ttitip salam saja buat Kapten Loka , apa masih kenal dengan ........ “, tukas saya kepada awak kabin sambil menyebutkan nama panggilan saya yang dulu tenar. “Bapak dipersilahkan ke kokpit, tapi setelah mendarat di Cengkareng saja, karena pesawat tidak lama lagi landing”, jawab sang pramugara, tentunya setelah dia minta ijin dengan Kapten Loka dulu.

Setelah pesawat mendarat, saya kembali minta ijin dengan pramugara dan kemudian pintu kokpit pun terbuka. Di hadapan saya , duduk di sebelah kiri saya melhat kapten Lokawati Nakagawa sedang dalam tahap akhir melakukan cek terhadap  semua intsrumen dan peralatan yang ada di kokpit. Di sebelahnya seorang co-pilot yang masih muda juga ikut berkenalan dengan saya.

\
Loka yang dalam ingatan saya adalah seorang gadis mungil yang lincah, cantik, dengan lesung di pipinya yang khas ketika tersenyum sektika berubah enjadi wanita yang berwibawa. Lengkap dengan baju dinas berwarna putih dan epaulet bar empat di bahunya. Tetapi yang tidak berubah adalah sifatnya yang selalu ramah dan riang gembira. Senyum dan lesung pipitnya juga masih sama.


“Wah, kalau ketemu di jalan saya mungkin gak kenal lagi”, demikian Loka membuka percakapan. Kami kemudian terlibat dengan obrolan panjang membicarakan teman-teman lama yang sebagian kerja disana sebagian lagi kerja disini. Dan bahkan sebagain juga sudah mendahului kita. Cerita-cerita dan kisah tentang masa muda memang selalu asyik untuk dikenang, termasuk kenakalan gerombolan saya yang sesekali menjaili Loka dan Tuti seperti dengan diam-diam menyemprotkan cat warna-warni ke baju terbang mereka yang berwarna oranye menyala.

“Saya harus terbang lagi ke Yogya dan baru kemudain pulang”, tambah Loka mengakhiri percakapan dan temu kangen kami. Saya pun meninggalkan kokpit setelah sempat memberikan nomer telpon genggam dengan harapan di lain waktu bisa bertemu lagi.

Waktu memang terasa berjalan begitu cepat. Kami yang dulunya muda remaja, sekarang sudah memasuki usia yang........... Kalau pepatah lama menyebutkan Lamo Takbasuo sekali Basuo di kandang Kudo, maka untuk peristiwa ini bolehlah disebutkan sebagai Lamo tak Basuo sekali Basuo di kokpit”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun