Wisata Nusantara memang gak ada matinya. Bosan dengan wisata pantai dan laut, kita bisa pergi ke pegunungan dan menikmati indahnya pemandangan alam , hijaunya pepohonan, matahari yang selalu bersinar dan tentu saja peninggalan budaya nenek moyang yang sejarahnya membentang ribuan tahun.
“Tuhan menciptakan tanah Periangan sambil tersenyum”, kira-kira begitulah ucapan budayawan M.A.W Brower yang terkenal di tahun 1970 atau 80 lampau. Maka tidak mengherankan kalau kemana saja kita melangkah, hamparan bumi yang indah menawan ada di hadapan. Kawasan Garut juga banyak menyimpan keindahan alam itu yang kali ini disertai dengan warisan budaya yang tidak kalah mempesona. Salah satunya adalah kawasan Candi Cangkuang yang selalu membuat pengunjung penasaran karena membuktikan bahwa candi juga ada di Jawa Barat.
“Paguyuban Usaha Tukang Rakit (PUTRA) Cangkuang” tulisan pada spanduk yang menempel di dinding bercat kuning memberikan informasi tentang ongkos naik rakit yaitu 4 ribu pulang pergi untuk dewasa dan 2000 untuk anak-anak. Sedangkan kalau borongan per rakit adalah Rp 80.000.Namun karena kebetulan bukan hari libur atau akhir pekan, hanya kami berempatlah yang ada di tempat itu dan akhirnya setelah sedikit nego dengan petugas, ongkos rakit pp disetujui dengan harga Rp. 60 ribu saja.
Pak Ading, begitulah nama tukang rakit yang siap mengantar kami ke ke kawasan cand di tengah danau. Dia juga ternyata merangkap menjadi penjual jagung bakar dan kelapa muda yang langsung disiapkan setelah rakit merapat ke pulau kecil di tengah danau itu. Sepanjang perjalanan , banyak dijumpai orang-orang yang sedang menangkap ikan dengan jala.
Pulau kecil di tengah danau ini terlihat cukup rimbun dengan pepohonan yang rindang dan candinya sendiri terlihat berdiri kokoh di balik pepohonan di atas bukit. Setelah sejenak makan jagung dan minum air kelapa yang segar, kami menyusuri jalan kecil melewati deretan gerai yang menjual berbagai jenis suvenir khas Garut. Sebelumnya juga ada petunjuk yang menjelaskan beberapa obyek wisata yang bisa di kunjungi di kawasan ini seperti rumah adat, makam, candi Hindhu dan museum.
Setelah melewati deretan gerai cendramata, kita sampai di pintu gerbang kampung adat yang ternyata bernama “Kampung Pulo”. Sebuah papan mengucapkan selamat datang di kampung adat ini lengkap dengan petunjuk arah menuju makam keramat Sunan Pangadegan yang berada 200 meter di sebelah kanan.
Kami melangkahkaki ke arah kiri , ke sebuah kompleks perumahan yang dindingnya dari gedek bercat putih dan beratap genting. Rumah-rumah ini lantainya mirip rumah panggung namun hanya sekitar 30 atau 40 cm saja lebih tinggi dari permukaan tanah. Menurut cerita, hanya ada tujuh buah bangunan di kompleks kampung pulo ini terdiri dari tiga pasang rumah yang salaing berhadapan dan sebuah masjid kecil. Enam rumah dan satu masjid ini melambangkan Embah Dalem yang kebetulan memiliki enam putri dan hanya seorang putra.
Setelah mewati Kampung Pulo, kami naik melalui puluhan anak tangga batu menuju ke puncak bukit dimana terdapat Candi Cangkuang. Candi ini sendiri ukurannya kecil mungil, namun cukup indah dan utuh . Menurut info, candi ini dibangun sekitar abad ke 8 dan ditemukan pada tahun 1966. Tepat di halaman candi terdapat makam batu Embah Dalem Arif Muhammad, sementara di sekitar candi juga banyak batu-batu kecil yang rupanya merupakan pusara orang-orang yang tidak dikenal.
Asyiknya lagi, di depan candi ada sebuah prasasti yang sekilas seperti ditulis dalam huruf jawa kuno tetapi ternyata dalam Bahasa Indonesia menjelaskan bahwa Candi Cangkuang ini selesai dipugar dan diresmikan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Prof Dr Syarif Thayeb pada 8 desember 1976.
Tidak jauh dari candi ada sebuah museum kecil yang berbentuk rumah joglo khas Sunda. Di dalam museum kita dapat melihat dokumentasi ketika pemugaran Candi Cangkuang. Selain tu banyak juga naskah kuno peninggalam Embah Dalem Arif Muhammad termasuk sebuah Al-Quran kuno tulisan tangan yang sayang nya sudah dalam kondisi yang cukup memperhatikan.
Namun yang paling menarik di dalam museum ini adalah sebuah prasasti yang dinamakan “Prasasti Guru Piduka Agung Tragedi Bubat” yang ternyata untuk memperingati 720 tahun lahirnya Kerajaan Majapahit sekaligus sebagai rekonsiliasi Sekala Niskala Trah lan Leluhur Majapahit kehadapan Trah Lan Leluhur Pajajaran yang ditandatangani pada Rabu 20 November 2013 bertepatan dengan Budha Pon Wuku Pujut Sasih Kelima Saka Warsa1935 atau bulan kelima Tahun Saka 1935.
Tepat di depan museum ada sebuah pohon yang menjadi asal nama candi yaitu pohon cangkuang. Tanaman ini ternyata termasuk sejenis pandan dengan nama Latin “Pandanus purcatus”. Tumbuhan ini memiliki banyak manfaat karena daunnya bisa dibuat menjadi tudung, tikar, dan juga pembungkus gula aren. Sedangkan buahnya juga cukup manis dan enak dimakan serta memiliki khasiat obat. Informasi ini didapatkan dari petugas museum yang sedang duduk-duduk santai di pendopo.
Perjalanan wisata kali ini ke kawasan Garut ini memang bukan wisata biasa. Selain memperkaya jiwa dan pengetahuan akan sejarah Nusantara , juga bisa melihat peralihan Hindhu ke Islam di Jawa Barat serta menjadi saksi perdamaian antara Pajajaran da Majapahit. Namun yang paling penting adalah mengetahui bahwa Kampung Pulo yang digusur Gubernur Ahok ternyata telah pindah ke Garut!
Garut, September 2015
*Sumber Foto: Dokumen Pribadi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H