Mohon tunggu...
Taufik Uieks
Taufik Uieks Mohon Tunggu... Dosen - Dosen , penulis buku travelling dan suka jalan-jalan kemana saja,

Hidup adalah sebuah perjalanan..Nikmati saja..

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Menguak Masa Kelam Perbudakan di Zanzibar

27 September 2015   13:46 Diperbarui: 27 September 2015   14:07 1016
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selepas berkunjung ke masjid terbesar di Zanzibar dan sejenak bercengkerama dengan nabi-nabi cilik yang ramah dan lucu, perjalanan dilanjutkan ke ibukota Zanzibar, yaitu Stone Town. Di batas kota, kendaraan berhenti sebentar, dan teman Zeus, sebut saja namanya Hussein, ikut naik ke kendaraan dan dialah yang akan menemani perjalanan kami di Stone Town.

Kalau Zeus berasal dari suku Luo di daratan Afrika di perbatasan Kenya dan Tanzania, maka Hussein mengaku orang asli Zanzibar dan melihat penampilannya bisa merupakan campuran atau keturunan pendatang Arab yang telah berabad-abad lalu bermukim di pulau kecil nan indah di timur benua Afrika ini.


Setelah memasuki kota tua Stone Town dengan jalan-jalannya yang sempit dan berliku, kendaraan berhenti di kawasan Mkunazini dan wisata selanjutnya adalah “walking tour” alias benar-benar jalan-jalan karena tidak menggunakan kendaraan alias berjalan kaki saja.


“Kita akan menguak masa lalu Zanzibar yang kelam”, ujar Hussein perlahan ketika kita sampai di sebuah gedung tua berlantai dua dengan tembok berkapur putih yang tampak sedikit kusam. Gedung ini ternyata merupakan bekas rumah sakit yang sekarang digunakan sebagai guest house.

“Welcome toThe Anglican Christ Church Cathedral (The Former Slave Market) ” , demikian tertulis di papan informasi. Uniknya gereja ini didirikan tepat di lokasi “Pasar Budak” atau Slave Market . Rupanya inilah maksud Hussein dengan menguak masa lalu yang kelam karena Zanzibar pernah menjadi pusat perbudakan di kawasan timur Afrika.


Setelah membeli tiket seharga 5 USD atau 7000 Shillings, kami mulai memasuki gedung putih berlantai dua ini. Di beranda dipamerkan gambar dan foto-foto mengenai sejarah dan perkembangan perbudakan. Disamping itu, ada juga gambar mengenai rute-rute perbudakan baik dari Afrika Barat, sampai ke West Indies, Eropa, Brasil dan juga Amerika.

Yang lebih mengerikan adalah gambar-gambar mengenai kondisi bagaimana para budak tersebut, baik pria, wanita, maupun anak-anak diperlakukan. Salah satu nya adalah mengenai bagaimana para budak tersebut diberi cap dengan besi yang membara sehingga meninggalkan luka yang abadi di tubuh mereka.


Kami kemudian memasuki ruang bawah tanah yang merupakan tempat penampungan sementara para budak sebelum dijual di pasar. Ruang berbentuk sel ini masih menyisakan rantai asli yang digunakan untuk mengikat budak-budak tersebut. Dalam satu sel sempit puluhan budak pria dikumpulkan, dan dalam sel yang lain khusus untuk wanita dan anak-anak. Di dalam ruang bawah tanah yang gelap dan sumpek ini, seakan-akan masih terasa jerit tangis , putus asa dan juga rasa marah yang membara. Betapa manusia dapat begitu kejam terhadap manusia yang lain.


Tidak tahan berlama-lama di sel yang gelap, kami kembali ke ruangan atas dan dan sempat melihat lukisan sang uskup Edward Steere yang diceritakan sebagai tokoh yang bersama-sama dengan Dr David Livingstone sangat menentang praktek perbudakan dan akhirnya bisa membuat Sultan Zanzibar mengeluarkan peraturan pemberhentian praktek yang tidak manusiawi ini pada 1873. Menurut cerita, Edward Steere yang lahir di London pada 1829 ini meninggal di Zanzibar pada 1882 dan dimakamkan di dekat altar gereja ini.


Perjalanan di lanjutkan ke katedral yang terlihat cukup megah dengan eksterior berwarna kuning oranye. Sayangnya bagian dalamnya sedang dalam renovasi besar-besaran sehingga kita tidak bisa melihat daerah altar dimana ada tanda lingkaran merah yang bertepatan dengan tiang dimana dulunya para budak diikat dan dicambuk.


Dari gereja kami berjalan perlahan menuju ke “Slaves Monument” yang merupakan sebuah karya pematung “Clara Sornas” dan menggambarkan lima orang budak dalam posisi terantai dengan mimik dan air wajah yang sedih dan menggenaskan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun