Selesai menyaksikan perpaduan mesra antara bebatuan candi dan pepohonan di Ta Phrom, sebenarnya masih banyak lagi candi yang dapat disaksikan di Angkor. Namun Syukri kali ini menyarankan untuk berganti suasana dengan melihat perkampungan nelayan yang unik di tepian Tonle Sap, danau yang konon paling luas tidak saja di Kamboja melainkan juga di seantora Asia Tenggara.
Dari kawasan Angkor, tuk tuk kami mampir dulu di Cambodian Muslim Restaurant untuk makan siang dan sholat. Setelah itu baru menyusuri jalan raya nasional yang menuju ke Phnom Phen. Setelah sekitar 15 menit berkendara di jalan raya, tuk tuk kemudian belok kanan nan menyusuri jalan pedesaan yang lebih sempit dan sepi. Beberapa kilometer kemudian jalan berubah dari jalan aspal menjadi jalan tanah dan kita sampai di pos untuk membeli tiket. Harganya cukup mahal , yaitu usd 20 per orang.
Setelah membeli tiket, tuk tuk masih harus kembali melantai di jalan tanah kira-kira 15 menit dan kemudian sampai di tepian kali yang dijadikan pangkalan perahu. Sayangnya tanah lumayan becek karena baru saja turun hujan dan kita harus naik perahu setelah melewati tanah yang lumayan berlumpur.
Perahu kemudian berlayar perlahan menyusuri sungai yang merupakan saah satu dari banyak sungai yang bermuara di Tonle Sap. Mula-mula tidak ada yang menarik berlayar dengan perahu motor di sungai yang tidak terlalu lebar dan berair cukup keruh dngan warnanya yang kecoklatan.
Namun setelah sekitar 5 menit berperahu, di kiri kanan sungi mulai terlihat pemandangan yang menkjubkan. Rumah-rumah nelayan berwarna-warni dengan tiang-tiang di bawahnya yang saling silang menyilang dan menjulang cukup tinggi. Lebih dari dua puluh sampai duauluh meter di atas permukaan sungai. “Ini untuk mengatasi banjir dan air pasang”, demikian enjelasan Syukri tanpa saya memintanya.
Yang menarik dari rumah panggung tepi sungai ini adalah bentuk rumah yang semuahnya memiliki tangga, kayu penopang yang saling bersilang-silang dan kuat menahan beban rumah di atasnya. Serta benda wajib yang dipunyai setiap rumah adalah perahu. Karena perahu merupkana alat transportasi di kampung ini.
Selain rumah, baik yang sederhana beratap rumbia, maupun yang sedikit mewah dengan warna yang menarik, ada juga bangunan umum seperti sebuah sekolah, pagoda, dan bahkan sebuah gereja. Di samping rumah-rumah panggung, kita dapat juga melihat kehidupan sehari-hari di kampung ini seperti anak-anak yang bermain di perahu dan berenang di sungai.
Perahu terus bergerak menyusuri sungai. Kita juga bertemu dengan sebuah dermaga dan warung makan . Setelah itu, kian mendekat ke Tonle Sap, pemandangan mulai berubah, dari rumah-rumah panggung berubah menjadi pohon bakau yang akarnya timbul tenggelam sesuai naik turunnya permukaan air.
Perahu kembali mendarat ke dermaga, dan kaki kembali harus berkenalan dengan lumpur. Tuk tuk juga kembali menyusir jalan tanah dan kembali ke pos pembelian tiket dimana kita bisa mampir ke toilet dan mencuki kaki. Di sini perjalananan dengan tuk tuk bahkan ikut dikawal dengan kawanan sapi yang ikut meramaikan jalan.
Suasana pedesaan yang khas ini lah yang membuat perjalanan ke Kompong Phloek memberikan kesan yang mendalam, meleahkan namun tidak mudah dilupakan.
Siem Reap, Agustus 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H