Kota Yangon, kota terbesar di Myanmar dan mantan ibu kota negeri yang dulunya bernama Burma merupakan kota yang dalam tahap perubahan besar. Di sini, pagoda, bangunan kolonial serta penduduk lokal yang sebagian besar masih memakai sarung khas Myanmar yang disebut “long yi” hidup dengan damai bersamaan dengan bangunan-bangunan perkantoran dan hotel yang baru dan modern.
Siang itu, saya naik taksi langsung menuju dermaga Pansodan. Lokasinya tidak jauh dari Strand Hotel, salah satu hotel peninggalan kolonial Inggris yang paling kondang di Yangon. Tujuannya adalah menyeberangi Sungai Yangon ke Dala Township yang merupakan sebuah kawasan yang masih secara gamblang mempertontonkan sisi-sisi kehidupan masyarakat pedesaan di Myanmar.
Berbeda dengan masyarakat lokal yang mengantri tiket dengan hanya membayar harga 100 Kyat, sebagai orang asing, saya diantar ke kantor dan membeli tiket pulang-pergi seharga 4 USD. Kalau dhitung-hitung, harganya lebih dari 20 kali harga lokal.
Ratusan penumpang dengan bergegas naik ke ferry. Suasana sangat ramai. Selain penumpang, puluhan pedagang asongan juga ikut menghangatkan perjalanan lengkap dengan berbagai macam barang dagangan. Di celah-celah kursi kayu, ada juga sepeda ikut naik ferry dengan membawa belasan ayam hidup di boncengannya. Sementara, di salah sudut kabin, ada sebuah toilet yang diperuntukkan khusus bagi biksu Buddha dan orang asing.
“Where are you from?” seorang pemuda berusia sekitar 25 tahunan, bersarung long yi warna coklat tua dan mengenakan kemeja kotak-kotak warna coklat lengan panjang dan bertopi oranye tiba-tiba menegur ketika saya sedang asyik menikmati pemandangan kota Yangon di seberang sana. Percakapan kami terus berubah dalam bahasa Melayu ketika tahu saya berasal dari Indonesia. Pemuda tadi menawarkan untuk tur naik ojeg sepeda ke beberapa tempat menarik di Dala, termasuk ke desa Tsunami, Pagoda dan juga sebuah masjid.
HanyaSekitar 15 menit berlayar, kapal ferry merapat di Dala. Suasana ramai dengan orang-orang yanng menawarkan angkutan umum termasuk becak sepeda. Akhirnya saya sepakat untuk ikut tur ke beberapa tempat tadi selama kurang lebih dua jam saja. Sang pemuda pun pamit setelah saya kasih tip 1 USD saja.
Berusia masih sekitar dua puluh lima tahunan, mengenakan longyi warna ungu dan kaus kuning, tukang ojeg sepeda mempersilahkan saya naik ke singgasana yang ada di samping, sementara dia mengendarai sepeda memlalui jalan-jalan di Dala yang kondisinya secara umum kurang baik. Kebetulan, ada seorang gadis berambut panjang yang sedang mengendarai sepeda sambil memegang payung dan juga sepeda motor yang dilarang di Kota Yangon.
Kami melewati pasar berupa jalan sempit dengan penjual yang menjajakan barang dagangannya di tepi jalan. Suasananya sedikit semrawut namun tetap eksotis seakan-akan waktu berhenti di pertengahan abad kedua puluh. Pejalan kaki, tukang becak atau ojeg sepeda, wanita penjual semuanya memakai pakaian yang sederhana.
Tujuan pertama adalah sebuah Pagoda bernama Shwe Sayan yang merupakan pagoda paling besar dan mashur di Dala. Yang menjadi daya tarik utama pagoda ini adalah mumi seorang biksu yang konon matanya bisa berkedip dan meramalkan kedatangan taifun yang mematikan.
Perjalanan dengan ojeg becak sepeda terus berlanjut. Si tukang terus bercerita bahwa dia punya tiga orang anak yang masih kecil dan bersekolah di sekolah dasar. Sarung longyinya sesekali bergeser dan harus dirapikan sambil sejenak beritirahat. Cukup melelahkan baginya untuk mengayuh sepeda dengan beban tubuh saya yang cukup berat. Apalagi melalui jalan-jalan yang kondisinya kurang baik.
Selain pagoda dan pasar, di sepanjang jalan kami juga melalui sebuah gereja dan kuil Hindhu. Rumah-rumah sederhana dan terkesan kumuh banyak dijumpai di perkampungan yang dilewati. Sang tukang ojeg bahkan bisa mengetahui apakah pemiliknya seorang pemeluk Buddha, Hindhu, atau Nasrani dengan hanya melihat rumah mereka.
Perjalanan kian semakin asyik karena di Dala ini hewan peliharaan pun bebas berjalan ke mana saja. Di antaranya kita sempat melihat serombongan angsa yang megendus-ngendus di sekitar roda mobil tua yang sedang parkir.
Setelah cukup puas melihat-lihat, saya meminta si tukang ojeg untuk menuju satu-satunya masjid yang ada di Dala. Sekilas masjid ini cukup megah dengan sebuah kubah tama yang modelnya mendapat banyak pengaruh arsitektur anak benua India. Sekalin kubah utama ada beberapa kubah kecil dan menara yang semua diberi cat warna-warni yang menyala.
Hiasan berbentuk ukiran dengan motif flora berwarna hijau muda menutupi hampir seluruh bagian kubah dan tiang-tiang kecil penyangganya. Kombinasi warna biru, jingga, hijau, serta coklat muda juga hadir baik di ukiran flora maupun relung-relung di sekitar kubah dan menara. Sementara hamparan bintang-bintang berwarna biru juga bertebaran di puncak kubah utama dan kubah-kubah kecil di sekitarnya. Singkatnya masjid ini walau tidak terlalu besar, hiasan eksteriornya lebih mirip sebuah istana di Dunia Fantasi. Di sini juga terpampang nama masjid ini, yaitu Rahmat Mosque dalam aksara Latin serta juga dalam huruf Hijaiyah.
Saya mendekati pintu gerbang utama dengan hiasan bulan sabit dan bintang di pagar tembok sekeliling masjid. Salah satu pintu kecilnya kebetulan terbuka dan di halaman masjid terdapat beberapa meja dan kursi plastik. Ada dua orang pria berkopiah sedang duduk berbincang-bincang.
Salah seorang pria memakai kopiah putih, kemeja lengan panjang, dan bersarung longyi coklat tua, raut wajahnya kemungkinan orang Myanmar, sedangkan yang satu lagi berkopiah warna coklat ungu hitam dan putih dengan motif bunga-bunga, berkemeja lengan pendek, serta tentu saja memakai longyi. Setelah mengucapkan salam, saya pun mengulurkan tangan yang disambut dengan ramah dan kemudian dipersilakan duduk.
Yang menjadi penghambat komunikasi ternyata adalah bahasa. Bahasa Myanmar saya sangat terbatas sementara bahasa Inggris atau Arab mereka pun sama sekali kurang bunyi. Kemudian saya mencoba berbahasa Melayu, dan kemudian mereka memanggil seseorang pria muda yang berusia dua puluhan yang hanya memakai singlet hitam dan berlongyi coklat. Ternyata pria ini bisa sedikit-sedikit berbahasa Melayu sehingga pembicaraan lumayan lancar.
Perjalanan mengintip masjid dunia fantasi di Dala ini dimulai dengan mampir ke tempat wudhu yang ada di samping bangunan masjid. Melihat ruang sholat yang lumayan besar, bisa menampung sekitar 1.500 jemaah dan berlantaikan keramik yang dibalut karpet plastik bermotif flora berwarna coklat muda dan biru. Di bagian depan terhampar deretan sajadah berwarna biru.
Nampaknya ruang dalam masjid sedang mengalami renovasi karena terlihat beberapa tangga, sapu, dan alat-alat kerja lainnya. Ada empat tiang utama yang menjadi sokoguru masjid ini. Dua berbentuk bulat dan dua lagi segiempat. Semuanya dihiasi ukiran motif flora berwarna hijau muda. Warna hijau muda memang kental di bagian interior masjid ini. Langit-langitnya juga dihiasi ukiran dengan motif flora berwarna kombinasi hijau muda dan pink.
Mihrab dan mimbarnya juga dihiasi dengan tiang penuh ukiran berwarna hijau. Tiga buah relung dengan mahkota berhiaskan kaligrafi bertuliskan “Bismillahirahmanirahim”, “Laillahaillah” dan “Muhammadaarasullah” . Di dinding juga terdapat dua buah jam serta kaligrafi berlafazdkan “Allah” dan “Muhammad”. Hiasan berbentuk jendela berwarna coklat juga ada dan berfungsi sebagai rak buku.
Sayangnya sama sekali tidak ada orang yang sedang sholat di sini. Mungkin karena waktu Ashar belum tiba sedangkan waktu Dzuhur sudah lewat. Saya kemudian kembali ke beranda dan melanjutkan obrolan dengan ketiga pria yang ramah tadi. Sekilas saya mendapatkan informasi bahwa penduduk Dala jumlahnya sekitar 90 sampai 100 ribu jiwa dan jumlah penduduk muslimnya hanya sekitar 5000 saja. Pada umumnya mereka hidup rukun bersama dengan penduduk yang beragama lain dan ”Semoga saja apa yang terjadi di Rakhine tidak sampai terjadi disini”, tutup pria muda yang bisa sedikit berbahasa Melayu tadi.
Akhirya tibalah waktu bagi saya untuk meninggalkan masjid penuh rahmat dan fantasi dan melanjutkan perjalanan kembali dengan ojeg becak sepeda kembali ke dermaga Ferry dan menikmati pelayaran singkat menuju Yangon.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H