Matahari bersinar terik di siang yang cerah di Kota Tua Tbilisi. Ibukota negri Georgia yang berada di kawasan Kaukasus dan mentahbiskan dirinya sebagai tempat dimana daratan Eropa bermulai. Negri yang penduduknya sebagian besar menganut Kristen ortodoks ini pernah selama lebih dari 70 tahun hidup dibawah cengkrama kekuasaan komunis Uni Sovyet.
Abanotubani, demikian lah nama daerah di kawasan kota tua Tbilisi dimana banyak terdapat rumah pemandian air panas belerang yang alami. Sahdan, nama kota Tbilisi sendii sebelumnya adalah Tiflis, ketika pengaruh Persia pada dinasi Safavid dan Qajar sangat dominan di negri ini. Sekilas, rumah pemadian air panas ini memang sangat mirip dengan masjid di negri Iran.
Tapi, dimanakah dapat dijumpai masjid di ibukota negri Kristen Ortodoks ini? Menurut informasi yang saya dapat sebelumnya letaknya tidak jauh dari kawasan Abanotubani ini. Ternyata, di balik bangunan pemandian itu, terlihat di kejauhan sebuah menara yang cukup tinggi dan hampir tidak dapat dipungkiri, bahwa menara itu adalah masjid yang dicari.
Kembali berjalan menyusuri jalan raya dengan bentangan sungai Kura atau Mtkvari yang membelah kota Tblisi, menajadi latar belakang yang menawan. Di perapatan jalan dimana banyak terdapat cafe dan juga toko suvenir ada taman kecil dengan sebuah tugu berbentuk alat musik mirip gitar yang cantik. Dari tempat ini, menara masjid yang berwarna coklat merah bata kian jelas di atas bukit.
Selangkah demi selangkah kaki berjalan menapaki jalan kecil dengan rumah-rumah tua di kedua sisinya. Jalan ini tingkat kecuramannya lumayan menguras stamina. Namun pemandangan kubah-kubah kecil pemandian air panas di bawah dan kereta gantung yang melintas di atas Sungai Kura membuat perjalanan mendaki ini kian menantang sekaligus menggugah rasa ingin tahu. Menit demi menit berlalu, bangunan masjid dan menaranya perlahan-lahan terasa kian mendekat.
Lebih dari 10 atau 15 menit mendaki, akhirnya kami pun tiba di masjid , masuk ke halaman dalam dan langsung terpesona dengan tatanan tempat wudhu yang rapih dan indah. Keran mungil berbentuk leher angsa dan kursi kecil kayu bundar berwarna coklat dengan tiang-tiang bata merah membuat tempat ini terlihat serasi dan damai.
Sementara di dinding tempat wudhu tertempel peringatan untuk menghemat air dalam Bahasa Georgia, Inggris, dan Turki. Sebuah air mancur kecil yang sedang tidak aktif menghiasi bagian tengah halaman dalam masjid ini. Di belakangnya terlihat deretan kamar mandi dengan lorong yang dilengkapi selasar berhiaskan lengkungan-lengkungan yang semuanya tersusun cantik dari bata merah.
Memasuki ruang utama masjid, saya kembali terpana dengan keindahn interiornya. Hamparan sajadah berwarna merah berjejer rapih di lantai yang tidak terlalu luas. Mimbar dan mihrabnya terbuat dari paduan kayu berwarna coklat dihiasi keramik-Turki yang indah. Tidak kalah dengan indahnya dengan masjid-masjid di Istanbul sana. Beberapa lampu kristal muncul dari langit-langit bagaikn stalaktit di dalam gua yang permai.
Kalau kita melihat ke dinding di sekitar mihrab, kembali keramik dengan hiasan kaligrafi bertuliskan “Allah dan Muhammad” serta nukilan ayat-ayat suci dengan kombinasi warna biru tua, biru muda dan kuning emas lengkap dengan motif-motif flora yang membuat mata tidak puas-puas menikmati keindahannya.
Demikian pula dengan langit-langit yang tertutup dengan keramiki bermotifkan pola geomteris bunga-bunga besar dengan warna putih yang dominan serta kombinasi lengkungan berwarna biru muda, orangye, hijau muda, kuning dan coklat tua di bagian tepi.
Jendela-jendela besar di kedua sisi masjid membuat ruangan terang bermandikan cahaya natural sang mentari. Di bagian saf paling belakang terdapat beberapa kursi lipat untuk jemah lansia serta rak buku yang berisi Al Quran dan buku-buku agama.
Masjid dalam suasana yang sepi, hanya ada beberapa orang di beranda.
Kembali saya berjalan meniti Botanikuri yang terus menanjak dan dari beberapa sudut dapat melihat keseluruhan bangunan masjid yang seandainya tidak dilengkapi dengan menara sepintas mirip gereja. Menaranya setinggi sekitar 25 atau 30 meter dilengkapi dengan kubah kecil yang mungil.
Karena masih ingin mengagumi keindahan interior masjid, saya pun kembali masuk ke ruang sholat dan kali ini sempat melihat beberapa orang yang sedang sholat. Hanya ketika diperhatikan ada yang tidak biasa dengan mereka, yaitu adanya batu kecil yang merupakan tanah dari Karbala yang disebut “turbah” yang menjadi tempat sujud. Ternyata mereka adalah orang-orang Syiah yang kebetulan mampir ke masjid ini.
Ketika kemudian saya sempat berbincang-bincang dengan orang yang ada di beranda masjid ini, ternyata baik orang sunni maupun syiah sudah biasa secara bersama menggunakan masjid cantik yang ada di bukit di dekat kawasan kota tua Tbilisi ini.
Siapa sangka, di ibukota eks salah satu republik Sovyet itu kita bisa menyaksikan Sunni dan Syiah beribadah di dalam masjid yang sama.!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H