Mohon tunggu...
Taufik Uieks
Taufik Uieks Mohon Tunggu... Dosen - Dosen , penulis buku travelling dan suka jalan-jalan kemana saja,

Hidup adalah sebuah perjalanan..Nikmati saja..

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Ngorongoro: Kawah Suku Maasai yang Mempesona

20 Juni 2015   08:53 Diperbarui: 23 Juni 2015   21:43 400
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setelah beristirahat semalam di Karatu, perjalanan dilanjutkan menuju ke Ngorongoro Conservation Area melalui jalan raya yang mulus, sedikit berliku karena menadaki pegunungan, dan sekali-kali terlihat juga kendaraan bajaj, gerobak, sepeda, atau pun suku Maasai yang berjalan kaki sambil membawa tombaknya yang khas.

“Karibu Eneo La Hifadhi Ya Ngorongoro” demikian tertulis dalam Bahasa Swahili di pintu gerbang masuk salah satu taman nasional paling terkenal di Tanzania ini. Di bawahnya tertulis terjemahannya dalam Bahasa Inggris “Welcome to the Ngorongoro Conservation Area.” 

Perjalanan di Tanzania, memang suatu perjalanan yang tidak biasa, perjalanan memburu dan mencoba berteman dengan hewan-hewan liar di alamnya yang natural, di mana manusia hanya menjadi tamu. Karena nya sementara Jummanne menyelesaikan urusan administrasi, kami masuk ke ruang tunggu yang di atas gerbangnya berhiaskan ukiran Badak Afrika.

 

Di sini, kita bisa mendapatkan informasi mengenai sejarah terbentuknya Kawah Ngorongoro yang konon berasal dari letusan gunung berapi puluhan juta tahun yang lalu dan kemudian menjadi habitat satwa liar Afrika, lengkap dengan sebuah danau yang cantik dan juga kemudian dihuni oleh ksatria terkenal dari Afrika Timur, yaitu orang-orang Masaai yang banyak dijumpai di kawasan ini.

Kita juga berkenalan dengan istilah “The Big Five”, yaitu satwa liar yang paling sukar diburu seperti singa atau simba, gajah atau tembo, Kerbau Afrika atau nyati mbogo, macan tutul atau chui, dan badak atau kifaru mweusi. Nama-nama hewan dalam Bahasa Swahili ini saya pelajari dan catat berdasarkan penuturan Jummane, sang pengemudi yang merangkap guide. 

 

Perjalanan dimulai dengan mendaki ke puncak melalui jalan tanah yang diperkeras dan sedikit licin akibat bekas hujan semalam, di sepanjang jalan, kami diperkenalkan dengan berjenis-jenis pepohanan khas Afrika yang bentuknya unik dan menarik. Sayangnya saya tidak ingat lagi nama pohon-pohon tersebut. Di antaranya adalah pohon yang batangnya sangat tinggi dan hanya memiliki sedikit dedauan di puncaknya.

 

“Sebelum ke kawah, ayo mampir ke perkampungan suku Masaai”, ajak Jumanne sambil membelokan kendaraan melalui sebuah jalan sempit yang sedikit menanjak dan berliku. Kami kemudian tiba di sebuah kampung Suku Maasai yang memang sudah ratusan tahun ada Kawah Ngorongoro ini. Di sini, ada sebuah toko kecil dimana kita bisa membeli “Shuka”, selimut khas suku Maasai yang umumnya bermotifkan kotak-kotak dengan warna yang cerah menyala.

 

Perjalanan dilanjutkan kembali menuju puncak di mana sebuah pemandangan menakjubkan menanti di hadapan. Hamparan Kawah Ngorongoro yang luasnya sekitar 260 km persegi dan merupakan salah satu kawah yang sudah tidak aktif paling luas di dunia. Di kejauhan tampak kawanan kerbau dan wildebeest yang nampak sangat kecil. Yang menjadi salah satu ikon keindahan kawah ini adalah danau Magadi yang airnya mengandung kadar garam yang cukup tinggi dan terlihat memiliki rona dadu atau pink yag berasal dari kawanan flamingo yang tinggal di sekitar danau.

 

Tibalah waktunya untuk memulai safari, kendaraan dipersiapkan dengan membuka atap sehingga kita bisa menikmati pemandangan dengan lebih leluasa. Mobil mulai menuruni kawah yang dalamnya lebih dari 600 meter. Disinilah kita mulai bertemu dengan berjenis-jenis satwa terutama zebra crossing yang kali ini bernar-benar zebra yang sedang menyebrang jalan.

Selain zebra, antelope, thomson gazelle, impala, dan wildebeest yang dapat dinikmati kegiatan dan kehidupan mereka sehari-hari dari jarak yang sangat dekat, tentu saja terdapat hewan-hewan lain seperti burung unta, dan juga bahkan hyena dan serigala.

 

 

Kendaraan bergerak perlahan, dan tujuannya adalahi Danau Magadi yang tetap unik dengan rona pink nya. Pemandangan rerumputan segera berubah dengan hamparan bunga berwarna kuning tiba-tiba saja menyeruak dan menghibur mata ini. Di sini, tidak ada satwa yang lalu lalang karena kehadiran bunga kuning yang menggantikan rerumputan itu.

 

Safari terus berlanjut, di sebuah savana yang luas, ada kelompok kecil simba si raja hutan yang tampak sedang asyik bermain dengan keluarganya. Dan baru di sinilah kami berjumpa dengan berberapa kendaraan safari yang lain. Semuanya asyik mengamati kehidupan Singa Afrika. Syaratnya hanya satu, jangan sekali-kali keluar dari kendaraan kalau tidak mau menjadi mangsa si simba!

 

Lalu, bagaimana kalau kita ingin sekedar beristirahat atau ke kamar kecil? Rupanya di beberapa tempat disediakan kamar kecil yang umumnya terletak agak sedikit tersembunyi di jalan setapak dan di depannya ada kepala kerbau menghalangi. Syahdan, kepala kerbau ini ditaruh oleh suku Maasai sehingga hewan buas seperti singa tidak akan masuk ke kawasan kamar kecil dan menggangu wisatawan! Suku Maasai sendiri tidak akan diganggu oleh singa karena tongkat mereka yang khas dan ditakuti singa.

 

Setelah cukup lelah bersafari, kendaraan menuju ke sebuah danau dimana terdapat kawanan kuda nil sedang berendam sambil sesekali menampakan tubuhnya yang besar dan mengeluarkan suara-suara yang khas.

Tibalah waktunya untuk sejenak menikmat makan siang yang sudah dipersiapkan dari Karatu. Ketika sedang asyik makan, tiba-tiba saja burung-burung kecil beterbangan ke dalam mobil. Aroma makanan itu yang membawa burung-burung itu, yang untungnya segera dihalau oleh Jumanne. Alasannya karena khawatir disangka memberi makan hewan tadi dan akan didenda sebesar 50 USD oleh jagawana alias ranger yang kebetulan banyak berkeliaran di sekitar tempat istirahat ini.

 

Selesai makan siang dan beristirahat, perjalanan mencari satwa diteruskan dan kali ini kita bertemu dengan kawanan tembo sang gajah yang tampak khas dengan telinga nya yang berbentuk mirip peta benua Afrika serta gadingnya yang putih panjang. Selain gajah, ada pula kawanan kera yang sedang asyik bermain sambil saling mencari kutu. Kalau dihitung ada lebih dari beberapa ratus kera dalam berbaagai ukuran dan usia.

 

Tidak ada perjalanan yang abadi, akhirnya tibalah waktunya untuk meninggalkan kawah dengan menaiki jalan yang disebut “Lerai Ascent Road” yang terjal, berliku, namun penuh dengan pemandangan yang membuat kita menahan nafas antara sedikit rasa cemas bercampur rasa kagum atas kebesaran Sang Khalik yang telah menciptakan alam beserta isinya dengan demikian sempurna.

 

Dengan kendaraaan yang sama kami kembali ke Arusha, di mana perjalanan sekitar 180 kilometer dapat ditempuh dalam waktu sekitar 3 jam. Di sepanjang jalan, masih dapat dilihat beberapa bajaj, dan juga sekelompok anak-anak sekolah yang berjalan kaki dengan seragamnya yang berwarna oranye ungu menyala.

Ngorongoro, Tanzania, Mei 2015

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun