Indonesia di musim hujan awal 2014 menyaksikan suatu rentetan peristiwa yang membuat hati menjadi miris. Banjir menerjang di mana-mana.Tidak saja di Kota Jakarta dan sekitarnya seperti Bekasi dan Tangerang, melainkan juga sebagian Jawa barat dan kawasan Pantura mulai dari Karawang, Pamanukan, Indramayu, Pekalongan, sampai ke Demak, Kudus serta Pati.
Selain di pulau Jawa, beberapa daerah di Sumatra seperti Tulangbawang di Lampung, Palembang, dan Jambi juga mengalami bencana yang sama, yaitu jumlah air yang menggenangi kota, desa, dan juga ladang dan sawah.Namun yang paling mengenaskan adalah banjir bandang yang menerpa kota Manado dan sekitarnya yang kedashyatannya dapat dibandingkan dengan tsunami dalam skala kecil yang menerjang Aceh hampir sepuluh tahun lalu.
Banjir, selain merendam rumah dan mengakibatkan puluhan bahkan ratusan ribu orang mengungsi, juga menimbulkan kemacetan parah dimana-mana.Di kawasan pantura, bahkan mengakibatkan putusnya jalur transportasi dan juga pasokan logistik. Akibatnya distribusi menjadi tidak menentu, dan bagi para pengusaha, Indonesia mempunyai variable yang penuh ketidakpastian lebih banyak dan akibat akhirnya adalah biaya produksi pun kian tinggi.
Dulu di tahun 1970 an, kita bisa yakin kalau naik bus dari Jakarta yang berangkat dari Lapangan Banteng atau kemudian pindah ke Pulogadung sekitar jam 5 atau 6 sore, maka bus akan sampai di Yogya atau Solo pada sekitar pukul 4 atau 5 pagi keesokan harinya. Sekarang, kita tidak pernah tahu akan sampai kapan? Singkatnya setelah lebih tigapuluh tahun, angkutan darat kita kian mundur?
Bagi kota Jakarta sendiri, kemacetan yang sudah parah bahkan di musim kering membuat kendaraan menjadi lebih susah mencapai tujuan di musim hujan dan banjir ini. Selain itu, di kawasan yang tidak kena banjir pun, mulai banyak jalan yang rusak dan berlubang sehingga menimbulkan tambahan hambatan dan kemacetan.Pendek kata di Jakarta kecepatan rata-rata kendaraan kadang-kadang lebih rendah dibandingkan kecepatan rata-rata berjalan kaki.
Namun, tidak cukup kemacetan di darat yang menimpa kita, di angkutan laut pun masa tempuh pelayaran menjadi lebih lambat. Selain karena faktor cuaca berupa hembusan angin yang kencang, dan tingginya gelobang laut ada juga kemacetan yang diakibatkan oleh kurangnya fasilitas dan infrastruktur. Contohnya di pelabuhan penyebrangan Merak-Bakauheni yang merupakan jembatan yang menghubungkan pulau Jawa dan Sumatra.
Karena ramainya arus lalulintas, maka kadang-kadang antrian untuk masuk ke kapal bisa panjang sampai mengular beberapa kilometer. Selain itu, karena kurangnya dermaga, kapal ferry yang sudah berlayar sekitar satu setengah jam atau dua jam juga harus mengantri kembali untuk merapat ke dermaga baik di Merak maupun Bakauheni. Akibatnya kapal ferry harus menunggu sekitar 2 jam dan total waktu pelayaran menjadi sekitar 4 jam.Kalau dibandingkan dengan tahun 1980 dimana total waktu pelayaran hanya 2 jam, maka ini juga suatu kemunduran?
“Kami baru saja mendapatkan informasi dari pengatur lalu lintas udara di Bandara Soekarno-Hatta bahwa volume lalau lintas di kawasan Bandara sangat padat sehingga pesawat kita harus ‘menunggu’ di Indramayu “, kira-kira begitulah pengumuman pilot dari kokpit. Hasilnya penerbangan singkat Semarang Jakarta yang menurut jadawal hanya 50 menit harus ditempuh hampir 2 jam?.Jadi ini juga suatau kemunduran dibandingkan dengan tahun 1970an?
Lalu, setelah merdeka hampir 70 tahun, kita harus bertanya lagi, apakah benar sistem transportasi kita telah lebih maju atau bahkan lebih buruk dibandingkan dengan waktu penjajahan? Buktinya sekarang macet ada di darat, laut, dan udara.
Jakarta, 25 Januari 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H