Membaca judul di atas, mungkin banyak pembaca yang terheran-heran dan mungkin ingin tahu apa kaitan di antara wakil gubernur Jakarta yang pasangannya, Jokowi, baru saja tampil nyapres, dengannarkoba, Belanda dan kota tua. Tetapi kalau kita mau lebih berfikiran terbuka dan sedikit nyeleneh. Boleh-boleh saja semuanya bisa saling berhubungan dan siapa tahu bisa membantu mewujudkan visi BNN untuk mencapai Indonesia Bebas Narkoba 2015.
Minggu kemaren, komunitas “Sahabat Museum” kembali mengadakan “Plesiran Tempo Doeloe” untuk ke 118 kalinya dan temanya kali ini adalah “Kota jang Dibangoen Peroesahaan Dagang”.Pelesiran kali ini dimulai di Museum Bank Mandiri di Pintu Besar Utara persis di depan Halte Buswaydi depan Stasiun Beos atau Jakarta Kota. Tujuannya adalah Toko Merah, Jembatan Kota Intan, Museum Wayang dan berakhir di Museum Keramik.
Dalam perjalanan ini dijelaskan sekiilas mengenai sejarak Kota tua Jakarta atau lebih keren dan beken terkenal dengan nama “Oud Batavia” yang kemudian berkembang menjadicikal bakal kota Jakarta sekarang ini. Syahdan Batavia didirikan pertama kali oleh JanPieterszoon Coenketika VOC menyerang Jayakarta dan kemudian mendirikan kota benteng. Pada awalnya J.P. Coen ingin menamakan kota benteng ini Nieuwe Hoorn sesuai dengan nama kampung kelahirannnya di Belanda sana , Hoorn.Tetapi akhirnya dinamakan Batavia untuk menghormati nenek moyang orang Belanda.
Kami beriringin menyusuri Jalan Pintu Besar Utara dan kemudian sampai di kawasan Kali Besar. Ini adalah bagian dari kawasanKota Tua yang benar-benar sangat mengagumkan dan merupakan warisan budaya dan sejarah yang harus dilestarikan.Namun ketika sekilas melihat kondisi di kawasan Kali Besar ini, membuat saya merasa sedih.Kali Besar airnya sedang surut, namun sampah terlihat dimana-mana dan aromanya yang kurang sedap sedikit menganggu wisatawan yang ingin menikmati sisa-sisa kejayaan Batavia yang pernah terkenal sebagai kota dagang paling hebat di timur.
Tujuan pertama adalah Toko Merah, sebuah bangunan tua yang mendapatkan namanya karena seluruh dinding bagian depannya memang terdiri dari susunan bata yang berwarna merah. Ternyata gedung ini dulunya dibangun pertama kali pada tahun 1730 sebagai rumah kediaman Baron Gustaav Van Imhof yang kemudian menjadi Gubernur Jendral Hindia Belanda pada 1740 sampai 1753.
Kami memasuki gedung tua nan bersejarah yang sekarang kondisinya sangat baik karena baru tahun 2012 lalu direnovasi. Ruangan dalam dengan langit-langit yang tinggi dan dihiasi lampion berwarna merah memberikan sedikit nuansa Cina pada bangunan yang tidak pernah menjadi toko ini.
“Toko merah . dalam sejarahnya pernah berfungsi sebagai rumah kediaman, asrama kadet angkatan laut , hotel, Bank, dan perkantoran”, tukas pak Andy yang menjelaskan juga bahwa pada saat peristiwa berdarah pembantaian orang Tionghoa di tahun 1740, ratusan orang Tionghoa bersembunyi dan mencari perlindungan dirumah ini.
Di salah satu bagian dinding di dalam Toko Merah ini, tergantung gambar beberapa Gubernur Jendral VOC yang pernah tinggal di rumah ini selain Van Imhof antara lain Jacob Mossel (1750–1761).“Petrus Albertus van der Parra (1761–1775), dan Reynier de Klerck (1777–1780).Petrus Albertus van der Parra merupkan gubernur jendral yang paling korup di VOC sehingga perusahaan dagang multi national ini kemudian samai menemui kebangkrutannya pada akhir 1799”, demikian tambah pak Andy lagi.
Toko merah mendapatkan namanya ini karena dicat merah ketika dibeli oleh Kapten Cina, Oey Liauw Kong pada tahun 1851. Sejak itulah bangunan ini terkenal dengan nama Toko Merah.Sejarahnya memang panjang dan penug dengan tragedi, namun ketika berfungsi sebagai hotel, Toko Merah juga pernah ditinggali oleh orang terkenal seperti Charles Darwin yang kondang dengan Teori Evolusinya.
Kami terus berjalan dan mengagumi keindahan gedung ini sampai kemudian menyadari bahwa banyak cerita tentang keangkeran gedung ini.Cerita ini dimulai dengan ditutupnya sebuah kedai kopi yang bernama Kopi Tiam yang mengambil tempat di salah satu pojok bangunan ini.Gedung ini angker sehingga banyak pegawai Kopi Tiam yang sering diganggu dan juga tidak terlalu banyak pelanggannya.
Selesai mengunjungungi Toko Merah, kami terus berjalan sepanjang Kali Besar sambil mengagumi dan membayangkan keindahan dan kemegahannya dulu. Sayangnya sebagian besar gedung dan bangunan di kawasan ini dalam keadaan merana dan bahkan ada yang sudah runtuh. Bahkan di gedung yang berada tepat sebelah Toko Merah, kaki limanya digunakan untuk pedagang kaki lima dan juga ada menjadi rumah para tuna wisma.
Sementara itu tepat di sebelah hotel berbintang yang cukup megah, ada sebuah bangunan tua yang sudah runtuh. Menyedihkan sekali keadaan kota tua ini.Gedung-gedung lain pun sebagian besar dalam keadaan kosong dan diterlantarkan begitu saja.Sementara persis di depan hotel terbentanglah Kali Besar yang dipenuhi sampah menumpuk dimana-mana.
Rombongan kami berjalan santai menuju satu lagi ikon kota tua yaitu Jembatan Kota Intan. Jembatan dari kayu yang berwarna coklat kemerahan ini tampak tetap menarik dan indah.Dan ini adalah satu-satunya jembatan yang tersisa di Batavia walaupun masih banyak jembatan yang mirip dapat kita jumpai di Amsterdam, di negri Belanda nun jauh disana.
Kota tua yang merana!Seandainya saja pemerintah DKI mengundang pemerintah Belnda untuk mengelola kota tua, mungkin keadaannya bisa berubah. Bagaimana kalau disewakan saja selama 99 tahun atau 150 tahun seperti Hongkong pernah disewakan ke Inggris oleh pemerintah Cina. Yang Jelas Belanda sangat faham akan seluk beluk kota tua ini dan mereka juga kebal terhadap berbagai jenis hantu ataupun santet. Sebab seandainya mereka takut dengan santet, tentunya tidak bakal lama bercokol di Nusantara ini?
Setelah dikelolah Belanda, barangkali kita akan melihat kota tua yang hidup dan indah dengan sungainya yang bersih dan berbagai jenis perahu yang berlayar. Sementara di kiri kananya terlihat hotel, restoran, bar, diskotek, toko, dan juga gerai lain yang penuh dengan denyut kehidupan baik di siang maupun malam hari.Di samping itu, seperti juga kehidupan di kawasan lampu merah di Amsterdam, mungkin saja di antara bangunan tua itu ada juga yang dijadikan cafe dimana beberapa jenis narkoba seperti marijuana dapat dinikmati dengan bebas oleh pengunjungnya.Yang jelas kawasan ini menjadi ramai dan indah dan uang pun mengalir dengan banyaknya.
Bersamaan dengan dibukanya cafe narkoba tadi, tentunya pemerintah melalui BNN juga dapat sekaligus mengawasi dan memantau siapa saja yang menjadi pemakai.Dengan demikian, mereka kemudian dapat dipantau terus dan juga kemungkinan lebih mudah dikemudian hari direhabilitasi.Yang jelas dengan mengendalikan peredaran jenis tertentu narkoba dalam jumlah terbatas, kita bahkan dapat mencapai tujuan akhir Indonesia yang bebas narkoba.
Demikian, sedikit nasehat untuk Ahok dalam mengelola kota tua supaya menjadi lebih baik dan manusiawi.Barangkali bagus juga untuk dipertimbangkan!
Jakarta Maret 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H