Siapa bilang kalau narkoba itu baru ada dan merebak akhir-akhir ini!Ternyata, sejak masa kolonial ketika Belanda masih berkuasa di negeri ini, narkoba dalam bentuk yang lain sudah merajalela dan bahkan menjadi salah satu produk yang legal dan bisa menghasilkan uang bagi pemerintah. Salah satu pengembaraan saya minggu kemarin telah mengungkap salah satu tempat di mana narkoba bahkan diproduksi dan diedarkan secara legal pada masanya.
Perjalanan saya bersama komunitas “Sahabat Museum” dalam“Plesiran Tempo Doeloe” episode ke-120 kali ini mengambil tema “Fabriek Opium dekat Station Salemba”,mengungkap fakta sejarah yang kurang dikenal masyarakat luas. Sebuah tautan antara simbiose mutualistis antara jaringan kereta api di Hindia Belanda dan peredaran Narkoba.Pada masanya, bahkan jalur kereta api dan stasiunnya dibuat khusus untuk transportasi barang haram itu.
Perjalanan kali ini dimulai dengan berkumpul di Museum Bank Mandiri yang letaknya persis di depan stasiun Busway Jakarta Kota.Setelah mendaftar dan sejenak menikmati teh hangat dan makanan kecil, kami berkumpul di aula dan sebentar menyaksikan presentasi Mas Aditya yang menulis buku cantik penuh gambar berjudul “The Beauty of Indonesian Railways”.
Presentasi singkat ini mengenai sejarah perkeretaapian di Indonesia sejak jaman Hindia Belanda hingga saat ini, mencakup jalur kereta api yang sudah tidak ada lagi saat ini termasuk Stasiun Salemba yang penuh misteri itu. Sebuah film jadoel juga diputar sekilas melukiskan orang-orang di jaman baheula sedang fly menikmati opium atau dalam bahasa gaulnya disebut candu.
Dijelaskan oleh Mas Aditya bahwa pada masa itu di Hindia Belanda ada beberapa perusahaan kereta api baik pemerintah maupun swasta. Yang pertama kali membangun jalur kereta api di Batavia adalah Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappijdengan jalur dari Batavia menuju Buitenzorg atau Bogor.Selain itu ada juga BOS atau Bataviasche Ooster Spoorweg Maatschappij yang mulai mengoperasikan jalur timur dari stasiun Jakarta Kota atau BeOS sampai ke Bekasi dan Karawang lewat Kemayoran Senen dan Jatinegara.Dengan peta-peta jaman lawas, digambarkan posisi letak stasiun Salemba itu yang akan kita tuju itu.
Dari Stasiun BeOS, rombongan kami menumpang kereta komuter menuju ke Stasiun Cikini. Perjalanan cukup santai dan dari jalurkereta api layang yang dibangun di awal tahun 1990-an ini kita dapat melihat dengan jelas pemandangan Kota Jakarta.“Stasiun Cikini yang sekarang ini baru dibangun pada awal tahun 1990-an menggantikanStasiun Pegangsaan yang letaknya tidak jauh dari Bioskop Megaria,” jelas Mas Aditya.
Perjalanan kemudian dilanjutkan dengan berjalan kaki dari “Cikini Gold Center”, melewati gang sempit di Pasar Ampiun yang konon di gang sempit inilah dulunya rel kereta api menuju stasiun Salemba berada. Dan rel itu hanya ditutup begitu saja dengan aspal.Syahdan, nama pasar Ampiun ini memang berasal dari kata opium yang berarti candu.
Namun masih ada yang tersisa dari jalur rel ini, yaitu sebuah jembatan kereta api yang melintas di atas Sungai Ciliwung. Jembatan kereta ini menjadi sangat unik karena sekarang sudah tidak ada relnya melainkan bagaikan jembatan biasa yang ramai dengan penduduk dan anak-anak kampung sekitar yang bermain dan sibuk lalu lalang.
Perjalanan dilanjutkan melalui gang yang sempit ramai akhirnya kami sampai di Jalan Kenari. Sebuah jalan yang juga tidak terlalu lebar dan semuanya cukup terheran-heran karena masih dapat menyaksikan bekas Stasiun Salemba yang kini berfungsi menjadi sebuah rumah yang konon ditempati oleh keturunan pegawai PJKA.Rumah ini cukup unik karena masih banyak hiasan dan relung yang khas menunjukan bahwa bangunan ini dulunya adalah sebuah stasiun kecil.
Blusukan kami ke kampung-kampung di tengah Kota Jakarta dilanjutkan menuju ke Jalan Salemba dan akhirnya sampai di Kampus Universitas Indonesia.Kami masuk ke kampus melalui pintu yang terletak di dekat Masjid Arif Rachman Hakim dan kemudian beristirahat sebentar di bawah pohon rindang di halaman dekat masjid.
“Dulu, pintu gerbang utama pabrik candu berada di kawasan Masjid dan menghadap ke jalan di dekat pasar Kenari,” demikian jelas Bapak Andy Alexander, yang mulai bercerita tentang keberadaan Pabrik Opium alias Opium Fabriek yang gedungnya masih dapat kita saksikan di dalam kampus UI sekarang ini.Letaknya persis di bagian tengah kampus di belakang gedung IASTH dan sekarang dijadikan kantor dan ruang kelas oleh Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Di halaman kampus yang rindang ini kami kemudian duduk santai sambil mendengarkan kisah tentang peredaran narkoba atau candu di masa itu. Semuanya ternyata berasal dari keserakahan akan uang.Pada awalnya VOC lebih mengutamakan perdagangan rempah-rempah yang berasal dari Maluku dan Indonesia bagian timur.Namun ternyata bisnis opium juga cukup menggiurkan sehingga bahkan didirikanlah pabrik di daerah Salemba yang kemudian berubah menjadi kampus UI ini.
Menurut sejarah, narkoba pada masa kolonial lebih banyak dalam bentuk opium yang dibuat dari bakan baku bunga opium atau dalam bahasa kerennya (papaver somniferum).Pemerintah Hindia Belanda maupun VOC pada masa itu mengimpor opium in dari Turki, Persia maupun British Bengal. Sedangkan perdagangan ilegal juga cukup marak dan biasanya didatangkan dari Timur Tengah dengan transit sebentar di Singapura dan kemudian masuk ke Jawa melalui Sunda Kecil, yaitu Bali. Demikian tambahan lagi kisah dari Pak Andi. Pak Andy juga menunjukan gambar-gambarantara lain “Poppy Flower” yang banyak tumbuh di Afghanistan ini.
Kisah mengenai pabrik candu ini dapat dinikmati berkat pembawaan yang hidup disertai gambar yang menarik. Ada gambar suasana di dalam pabrik yang menggamabrkan para pekerja sedang sibuk memproduksi candu.Pekerjanya terlihat orang orang pribumi dan juga orang Belanda. Selain itu, melalui ipad-nya, juga ditunjukkan peta dan foto udara lokasi pabrik opium ini yang berdekatan dengan fakultas Kedoketeran Universiteit van Indonesie.
Menurut cerita, pabrik candu yang pertama didirikan pada 1894 di kawasan Struiswijk atau Gang Tengah dan juga di kawasan Meester Cornelis alias Jatinegara.Namun produksinya tidak mencukupi permintaan yang tinggi sehingga pada 1901 dibuatlah pabrik modern di kawasan Salemba yang dilengkapi dengan jalur kereta api khusus ini.
Berton-ton bahan baku candu dari Benggala dibawa dari pelabuhan ke pabrik ini yang kemudian disulap menjadi candu siap hisap.Pada masa kejayaannya pabrik di Salemba ini mempekerjakan lebih dari 1.000 buruh dan bisa memproduksi lebih dari 100 ton candu siap hisap.Untuk mengawasi peredarannya, Pemerintah Hindia Belanda membentuk “Badan Candu” atau “Candu Regie”di mana para pengawas dan pengedar candu pribumi yang disebut Mantri Candu itu bekerja di bawah pengawasan kontrolir orang Belanda. “Kakek Saya juga dulu seorang Mantri Candu,” demikian tambah salah seorang peserta rombong Sahabat Museum sambil tersenyum.
Dengan beredar luasnya candu secara legal, maka marak pula para pengguna yang disebut sebagai pemadat.Namun yang membedakannya dengan pecandu jaman sekarangadalah usia para pemadat yang kebanyakan sudah berusia di atas 50 tahunan alias usia yang sudah tidak produktif lagi.
Dipertontonkan juga beberapa gambar pemadat usia tua baik lelaki maupun perempuan yang kebanyakan bertubuh kurus kering.Pada masa itu, mereka dapat membeli candu dan kemudian menikmatinya di tempat khusus yang disediakan dan dinamakan sebagai “Opiumverkoopplaats-Tempat Pendjoewalan Tjandoe”.Sebagai salah satu bukti, di kawasan Jalan Gajahmada ada sebuah jalan kecil yang dulunya bernama “Gang Madat”.“Sekarang nama gang ini sudah berganti menjadi jalan Kejayaan”, tambah salah seorang panitia yang memang tinggal di kawasan itu.
Cerita terus mengalir, dikabarkan bahwa penggemar candu mencakup banyak golongan baik para orang tua yang sudah tidak produktif, juga termasuk golongan coolie, pekerja dan bahkan juga para tentara.Para tentara Belanda dan pribumi ini juga bahkan ikut menjual barang haram ini di asrama.Di asrama ini, tentara dan istrinya tinggal di bilik kecil mereka dan di kala mereka menikmati candu anak-anak mereka disimpan di kolong tempat tidur. Konon dari sinilah istilah anak kolong timbul!
Saya kembali memperhatikan halaman gedung Opium Fabriek ini, sambil sekali-kali membandingkan dengan gambarnya di jaman baheula.Tampak sebagian besar tampak luarnya masih sama walaupun bagian dalamnya sudah berubah total.Di sudut lain terlihat gedung Program Majister Fakultas Ekonomi UI.Sementara kisah mengenai narkoba di jaman penjajahan terus berlangsung dengan sedikit lelucon mengenai burung-burung gereja yang jatuh setelah sejenak hinggap di cerobong asap pabrik ini.
Kembali mengenai kisah candu yang pada jaman perang kemerdekaan juga dipakai sebagai “anestesi” untuk mengatasi rasa sakit akibat luka yang diderita.Sedangkan pada jaman Jepang, peredaraan candu amat sangat dibatasi karena dikhawatirkan akan melemahkan semangat rakyat dalam mendukung Jepang pada Perang Asia Timur Raya itu.
Perjalanan napak tilas melewati masa lebih dari 100 tahun balik ke jaman Belanda ini membuat mata hati kita menjadi lebih terbuka akan bahaya narkotika. Kalau pada masa itu kebijakan pemerintah penjajah memang secara sengaja ingin dengan perlahan menghancurkan generasi tua yang sudah tidak produkrif, maka pada saat ini, jeratan bisnis haram yang umumnya dikendalikan oleh sindikat narkotika internasional ini lebih mengutamakan menghancurkan generasi muda dan penerus bangsa.
Dengan mempelajari kisah masa lalu, kita dapat lebih sadar bahwa narkotika dapat memperlemah bangsa dan membuat hilang beberapa generasi. Karenanya peran serta para blogger dalam program Indonesia Bergegas dapat membantu Badan Narkotika Nasional (BNN) dalam rangka menuju Indonesia bebas narkoba pada 2015 nanti.
Kesimpulannya, para pemadat ataupun pecandu sebagian besar adalah korban baik dari kebijakan pemerintah di masa lampau maupun jerat para bandar dan sindikat di masa kini yang harus kita bantu dengan dikirim ke lembaga rehabilitasi dan bukan di penjara.
Perjalanan sejenak kembali ke masa lampau di Kampus UI Salemba ini telah membuat kita makin sadar akan bahaya segala bentuk narkoba, baik pada masa lampau, sekarang, maupun di masa depan. Dengan ini, tekad untuk mencegah dan memperkuat benteng pribadi dalam menghalau pengaruh narkotika akan semakin kuat, tebal, dan kokoh.Semoga!
Jakarta, 14 Mei 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H