Sekolah Dasar (SD) dalam sistem pendidikan nasional merupakan bagian dari pendidikan dasar. Pembelajaran di SD dilaksanakan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik dalam aspek intelektual, spritual, sosial, dan personal sesuai dengan perkembangannya. Kemampuan yang dikembangkan di SD menjadi bekal bagi peserta didik untuk melanjutkan pendidikan pada jenjang di atasnya.
Pendidikan di SD merupakan fundamen pendidikan nasional. Sebagai fundamen, maka peran pendidikan SD sangat penting dalam peningkatan kualitas pendidikan nasional. Keberhasilan pendidikan SD dalam membekali peserta didiknya membuat jenjang pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP) lebih mudah melaksankan fungsinya. Sebaliknya, kegagalan SD menyiapkan peserta didik akan berdampak beratnya tugas yang diemban SMP dan satuan pendidikan setelahnya dalam mendidik siswa.
Oleh karena itu, menjadikan SD sebagai sekolah berkualitas tidak bisa ditawar-tawar lagi. Kebijakan pemerintah yang mendukung terciptanya sekolah dasar yang berkualitas mutlak diperlukan. Tanpa kebijakan yang berorientasi pada kualitas sekolah dasar, maka pendidikan nasional tidak akan dapat memenuhi harapan.
Terbitnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah merupakan awal berlakunya babak baru tata pemerintahan. Pengelolaan pemerintahan yang sebelumnya menganut sistem sentralistik berubah menjadi desentralistik. Pemerintah Daerah (Pemda) diberi ruang untuk megelola pemerintahannya sendiri termasuk mengelola pendidikan. Pemberlakuan otonomi pendidikan ini dimaksudkan agar terjadi efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pendidikan sehingga menghasilkan pendidikan yang berkualitas.
Untuk menjamin pemda memberikan pelayanan pendidikan yang berkualitas, Menteri Pendidikan Nasional menerbitkan Permendiknas Nomor 15 tahun 2010 tentang Standar Pelayanan Minimal Pendidikan Dasar (SPM Dikdas) di Kabupaten/Kota yang kemudian diubah menjadi Permendikbud Nomor 23 tahun 2013. Permendikbud ini memuat 27 indikator SPM Dikdas yang terdiri dari 14 indikator SPM tingkat kabupaten/kota dan 13 indikator SPM tingkat satuan pendidikan.
Berlakunya otonomi daerah, termasuk di dalamnya otonomi pendidikan, dan disahkannya SPM Dikdas secara teoritis akan menderek kualitas pendidikan di daerah. Namun kebijakan ini tidak serta merta berdampak positif terhadap dunia pendidikan tanpa dibarengi dengan niat baik serta komitmen pemerintah daerah untuk melaksanakan kebijakan ini. Tanpa adanya niat baik pemda untuk menciptakan dunia pendidikan berkualitas, otonomi akan melahirkan masalah baru dalam pendidikan.
Anggaran 20% untuk pendidikan yang menjelma dalam rupa tunjangan sertifikasi guru, Bantuan Operasional Sekolah (BOS), bantuan sarana, dan berbagai bentuk bantuan lainnnya merangsang menjamurnya sekolah baru. Selain sekolah baru, lembaga pendidikan yang sebelumnya berupa lembaga pendidikan nonformal yang tidak tersentuh pemerintah bermetamorfosis menjadi sekolah formal yang mendapat perlakuan sebagaimana sekolah lainnya. Akibatnya, terdapat beberapa sekolah dengan jenjang yang sama menumpuk dalam satu kawasan. Persaingan tidak sehat pun terjadi untuk memenangkan pertarungan antar sekolah dalam mengait peserta didik baru.
Pemberian izin operasional kepada sekolah yang berada dalam kewenangan pemerintah daerah memperbesar kememungkinkan pemerataan akses pendidikan dengan bertambahnya kuantitas sekolah. Hanya saja  naiknya kuantitas terkadang tidak dibarengi dengan peningkatan kualitas. Bahkan bisa menjadi penyebab buruknya kualitas layanan pendidikan. Semakin banyaknya sekolah berimbas pada sedikitnya jumlah peserta didik di suatu sekolah. Sedikitnya peserta didik berakibat sedikitnya dana operasional yang diterima sekolah karena perhitungan besaran dana BOS berdasarkan jumlah peserta didik. Minimnya dana yang dimiliki, membuat sekolah tidak mampu memberikan pelayanan pendidikan yang berkualitas.
Inilah alasan pentingnya pemerintah daerah melakukan kajian jujur, mendalam, dan profesional sebelum menerbitkan izin operasional. Kajian untuk menelusuri apakah adanya sekolah baru dibutuhkan atau hanya akan menambah masalah pendidikan. Jika izin terlanjur dikeluarkan, maka perlu melakukan pemantauan dan pembinaan secara rutin agar sekolah menyelenggarakan pendidikan berkualitas. Bila tidak, maka pemerintah harus mengevaluasi atau bahkan mencabut izin yang telah dikeluarkan.
Pemerintah daerah juga perlu melakukan koordinasi lintas sektoral. Persaingan tidak sehat sering kali terjadi antar lembaga pendidikan dibawah binaan pemerintah daerah dan departemen agama. Jarak antara SD dan MI (Madrasah Ibtidaiyah) sudah tidak rasional lagi. Di satu desa kecil di Sumenep, misalnya, Â di setiap dusunnya ada SD dan MI. Gedung SD dan MI berhadapan dipisahkan oleh jalan desa di tengahnya. Bahkan di dusun lain antara gedung SD dan MI hanya dipisahkan oleh pagar. Jumlah peserta didik di setiap kelasnya sekitar sepuluh orang.
Dengan kondisi ini, anggaran yang dikeluarkan pemerintah untuk membiayai pendidikan dasar membengkak. Pemerintah membayar belanja guru dua kali lebih besar dari seharusnya karena guru hanya mengajar peserta didik yang sedikit dalam setiap kelas. Padahal, jika peserta didik dua kelas dijadikan satu, seorang guru masih mampu membimbingnya. Inilah bukti nyata inefisiensi anggaran pemerintah dalam dunia pendidikan.