"Daun ubi!", Ulangnya lagi. Suaranya terdengar jelas meski agak melemah. Yang ia maksudkan ialah daun singkong atau ketela pohon. Pasti karena salah persepsi dan Bahasa Ulu yang selalu rancu. Sehingga tetua kami menyebutnya daun ubi.
"Oh, Indomie!" Aku pura-pura mengerti tapi membully.
"Bukaaann!!!"
Ia mulai menangis. Kakinya tetap menghentak mengais-ngais. Tapi tetap cantik dan manis. Sama seperti neneknya yang i-nya banyak sekali. Meminjam diksi Dahlan Iskan mendeskripsikan kecantikan. Neneknya memberi isyarat agar jangan dipedulikan. Tuntutannya diabaikan. Karena sayur murah meriah itu sedang tak tersedia. Toh nanti juga reda dengan sendirinya. Seperti demo 212. Aku malahan semakin menjadi-jadi membully-nya.
Â
"Oh, Indomie!" Kataku lagi. Sambil menahan senyuman.
"Bukaaaaaannnnn!" A-nya banyak, n-nya banyak.
"Aku
-mau
-makan
-pakai
-daun ubi!"
Katanya lagi. Tegas. Jelas. Keras. Aku senyum maklum. Kecil-kecil seleranya terlalu umum.
Daun ubi dimaksud bukanlah pucuk ketela pohon yang direbus atau disantan seperti di restoran Padang. Yang jadi makanan favorit cucuku ialah yang ditumbuk memakai lesung. Kadang dicampur buah tekokak. Kami Urang Ulu menyebutnya terung pipit. Tak lupa  daun sengkubak (ngkelalai, koruh) sebagai penyedap rasa yang ditumbuk bersamanya. Setelah kemerdekaan, bawang putih juga ikut meramaikan.
Kumpulan sayur dan bumbu yang telah ditumbuk menjadi satu itu kemudian ditumis di atas tungku. Beberapa waktu kemudian, makanan siap dihidangkan. Demikianlah saran penyajian. Selamat menikmati!
"Tawaaaaaarrr!" Cucuku belum move on. Oh ya, tadi lupa ditaburi garam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H