"Ayam?"
"Telur?"
"Ikan?"
"Digoreng?"
"Sup?"
Semua pertanyaan di atas dijawabnya dengan menggelengkan kepala. Mukanya cemberut. Tangan mungilnya mulai memukul-mukul daun pintu. Tidak biasanya anak manis itu bertingkah begitu. Umurnya memang baru masuk 5 tahun. Namun sudah bisa mengemasi tempat tidurnya sendiri. Rapi lagi.
Bahkan bila suatu pagi neneknya langsung membereskan pekerjaan dapur, di kamar selalu didapati peraduan nenek dan ayinya sudah terkemas rapi. Itu biasanya terjadi di hari Sabtu dan Minggu pagi. Saat ia tidak diantar ke sekolah. Dia adalah cucu kami.
Tapi hari ini seperti telah terjadi sesuatu dengannya. Mungkin efek dari salah satu canel film animasi yang menghilang dari layar televisi.
Â
"Mie?" Tawar neneknya lagi. Ia menggeleng geram. Menolak tawaran. Kakinya dihentak-hentakan.
"Kalau mau nanti nenek masakkan"
Wanita Bahagia-ku masih berusaha merayu cucu kami satu-satunya dengan makanan favorit kebanyakan balita Indonesia. Cucunya juga. Mie instan.
"Ndaaaakkkk!!!" Kemudian dia merengek.
"Jadi mau makan lauk apa jak? Nasi sama kecap?" Neneknya tampak mulai tak sabar.
"Ndaaaakkkk!!" Sambil duduk kakinya menerjang dinding. Rengekannya meningkat. Bertambah kuat.
"Way Ayi! Nampaknya cucumu harus diruqyah!" Neneknya mengajakku terlibat.
"Jadi Zahra mau makan lauk apa jak?" Aku mencampuri. Sepotong kalimat bertanyaku membuat jerewetnya sedikit mengendur. Dari mulut mungilnya keluar jawaban samar. Mungkin ia khawatir bila ayinya keluar dari golongan orang-orang yang bersabar.
"Apa?" Tanyaku minta kejelasan. Padahal aku sudah mendengar. Baru saja ia menyebut sayur kesukaannya.