Pendidikan adalah salah satu institusi sosial yang paling berpengaruh dalam pembentukan struktur masyarakat. Di satu sisi, pendidikan sering digunakan oleh kekuasaan untuk memperkuat dominasi dan memelihara status quo melalui penanaman ideologi tertentu. Di sisi lain, pendidikan juga memiliki potensi besar sebagai alat perlawanan terhadap kekuasaan yang otoriter, dengan membekali individu kemampuan berpikir kritis, kesadaran sosial, dan semangat partisipasi. Tema ini menyoroti dualitas pendidikan sebagai alat kekuasaan sekaligus perlawanan dalam konteks politik, sosial, dan budaya.
Pendidikan sebagai Alat Kekuasaan
- Pendidikan sebagai Sarana Kontrol Ideologi
Sejak zaman dahulu, penguasa sering memanfaatkan pendidikan sebagai alat untuk menanamkan nilai-nilai yang mendukung kepentingan mereka. Dalam sistem politik otoriter, kurikulum pendidikan disesuaikan untuk mencerminkan narasi ideologis yang diinginkan oleh negara. Contohnya adalah penggunaan buku teks sejarah untuk menekankan keberhasilan rezim tertentu atau menghilangkan narasi alternatif yang mengkritik kekuasaan.
Pendidikan juga dapat membatasi ruang berpikir kritis siswa dengan mendorong penerimaan pasif terhadap otoritas. Misalnya, dalam beberapa negara berkembang, pendidikan kewarganegaraan digunakan untuk mempromosikan kepatuhan kepada negara, alih-alih menanamkan nilai-nilai demokrasi seperti kebebasan berpendapat dan partisipasi politik. - Dominasi dalam Struktur Sosial dan Ekonomi
Pendidikan sering mencerminkan struktur sosial-ekonomi yang ada, dengan menguatkan ketimpangan daripada menguranginya. Sistem pendidikan yang dikontrol oleh elite dapat menghambat mobilitas sosial dengan menciptakan jurang yang besar antara kelompok kaya dan miskin. Akses ke pendidikan berkualitas sering kali terbatas bagi mereka yang berada di strata sosial rendah, yang memperkuat ketidakadilan sosial dan ekonomi. - Penekanan terhadap Keragaman Perspektif
Kekuasaan dapat memanfaatkan pendidikan untuk menekan keberagaman budaya, agama, atau etnis. Dalam konteks ini, pendidikan digunakan sebagai alat asimilasi paksa, di mana budaya mayoritas atau penguasa mendominasi, sementara identitas kelompok minoritas diabaikan atau bahkan dihapuskan.
Pendidikan sebagai Alat Perlawanan
- Pendidikan Kritis sebagai Perlawanan
Dalam tradisi filsafat pendidikan kritis, seperti yang dikemukakan oleh Paulo Freire, pendidikan harus menjadi proses pembebasan, bukan penindasan. Freire berpendapat bahwa pendidikan harus membangun kesadaran kritis (critical consciousness) yang memungkinkan individu untuk memahami struktur kekuasaan yang menindas dan berjuang untuk mengubahnya.
Pendidikan kritis menciptakan ruang bagi siswa untuk mempertanyakan narasi dominan, menganalisis ketidakadilan, dan memformulasikan strategi perlawanan. Metode pengajaran partisipatif, seperti diskusi terbuka dan dialog antarbudaya, membantu siswa membangun kemampuan berpikir mandiri dan keterlibatan aktif dalam perubahan sosial. - Literasi Politik sebagai Pemberdayaan
Pendidikan yang dirancang untuk membangun literasi politik memiliki potensi besar dalam melawan kekuasaan yang otoriter. Dengan memahami sistem politik, hak-hak mereka sebagai warga negara, dan cara-cara untuk memengaruhi kebijakan publik, siswa dapat menjadi agen perubahan yang efektif.
Misalnya, program pendidikan pemilih yang diterapkan di berbagai negara demokratis membantu generasi muda memahami pentingnya partisipasi dalam proses pemilu dan bagaimana suara mereka dapat memengaruhi kebijakan pemerintah. - Pendidikan Multikultural sebagai Perlawanan terhadap Asimilasi
Pendidikan multikultural menjadi alat penting untuk melawan homogenisasi budaya yang sering dipaksakan oleh kekuasaan. Dengan menanamkan nilai-nilai inklusivitas, penghargaan terhadap keberagaman, dan toleransi, pendidikan multikultural membantu siswa memahami dan menghormati identitas budaya yang berbeda.
Ini menjadi bentuk perlawanan terhadap kebijakan yang mencoba menghapuskan budaya minoritas, seperti yang sering terjadi dalam sistem pendidikan yang dikontrol oleh negara otoriter. - Teknologi sebagai Medium Perlawanan
Di era digital, teknologi telah menjadi alat perlawanan yang kuat dalam pendidikan. Platform digital memberikan akses ke informasi alternatif dan sumber daya yang tidak selalu tersedia dalam sistem pendidikan tradisional. Siswa dan guru dapat menggunakan teknologi untuk mengakses materi yang mendukung nilai-nilai demokrasi dan kebebasan berpikir, sekaligus mengorganisasi gerakan sosial.
Sebagai contoh, inisiatif pendidikan berbasis komunitas yang menggunakan media sosial telah berhasil menciptakan ruang belajar yang independen dari pengaruh kekuasaan.
Tantangan dalam Menggunakan Pendidikan untuk Perlawanan
- Kontrol terhadap Infrastruktur Pendidikan
Pemerintah atau kelompok dominan sering mengontrol infrastruktur pendidikan, termasuk kurikulum, buku teks, dan institusi pelatihan guru. Ini menciptakan hambatan besar bagi mereka yang ingin menggunakan pendidikan sebagai alat perlawanan. Guru yang mencoba menerapkan pendekatan kritis sering kali menghadapi risiko sanksi, termasuk pemecatan atau tekanan politik. - Kesenjangan Akses dan Ketimpangan Digital
Upaya pendidikan untuk melawan kekuasaan sering kali terhambat oleh kesenjangan akses, terutama di negara berkembang. Ketimpangan digital juga memperparah situasi, di mana siswa di daerah terpencil tidak memiliki akses ke teknologi yang dapat membantu mereka memperoleh informasi alternatif. - Resistensi terhadap Perubahan
Perubahan dalam sistem pendidikan sering kali dihadapkan pada resistensi dari kelompok konservatif yang ingin mempertahankan status quo. Resistensi ini dapat muncul dari dalam institusi pendidikan sendiri, termasuk guru dan administrator yang sudah terbiasa dengan pendekatan tradisional.
Peluang untuk Pendidikan sebagai Perlawanan
- Gerakan Pendidikan Alternatif
Gerakan pendidikan alternatif, seperti sekolah komunitas dan program pendidikan berbasis masyarakat, memberikan contoh bagaimana pendidikan dapat menjadi alat perlawanan yang efektif. Gerakan ini menciptakan ruang belajar yang bebas dari pengaruh kekuasaan dominan, dengan fokus pada pengembangan kapasitas kritis siswa. - Kolaborasi dengan Masyarakat Sipil
Organisasi masyarakat sipil dapat memainkan peran penting dalam memperkuat pendidikan sebagai alat perlawanan. Dengan menyediakan sumber daya, pelatihan, dan dukungan, organisasi ini membantu mengatasi keterbatasan yang ada dalam sistem pendidikan formal. - Pemanfaatan Teknologi
Teknologi digital memberikan peluang besar untuk mengembangkan pendidikan kritis dan memperluas jangkauan informasi alternatif. Dengan memanfaatkan platform seperti YouTube, blog, dan media sosial, pendidikan dapat disampaikan dengan cara yang menarik dan dapat diakses oleh berbagai kelompok masyarakat. - Tekanan Global untuk Reformasi
Tekanan dari komunitas internasional untuk menciptakan sistem pendidikan yang inklusif dan demokratis dapat membantu mempromosikan pendidikan sebagai alat perlawanan. Negara-negara yang bergabung dalam organisasi internasional sering kali menghadapi tekanan untuk mengadopsi kebijakan pendidikan yang mendukung kebebasan dan hak asasi manusia.
Kesimpulan
 Pendidikan memiliki sifat dualitas sebagai alat kekuasaan dan perlawanan. Dalam konteks kekuasaan, pendidikan sering digunakan untuk memperkuat dominasi melalui kontrol ideologi, penindasan keberagaman, dan reproduksi ketimpangan sosial. Namun, pendidikan juga memiliki potensi besar sebagai alat perlawanan. Melalui pendekatan kritis, literasi politik, pendidikan multikultural, dan pemanfaatan teknologi, pendidikan dapat membekali individu dengan kemampuan untuk melawan struktur kekuasaan yang menindas.
Keberhasilan pendidikan sebagai alat perlawanan membutuhkan dukungan dari berbagai pemangku kepentingan, termasuk guru, masyarakat, dan organisasi sipil, untuk menciptakan sistem pendidikan yang benar-benar membebaskan.
Sumber
Affandi, L., Sutajaya, I., & Sudiarta, I. (2023). Refleksi kritis atas penyelenggaraan pendidikan kewirausahaan di perguruan tinggi. Jurnal Ilmiah Profesi Pendidikan, 8(1b), 821-828. https://doi.org/10.29303/jipp.v8i1b.1329