Pendahuluan
Hubungan antara filsafat pendidikan modern dan demokrasi sangat erat. Pendidikan modern, terutama yang berbasis filsafat progresif seperti gagasan John Dewey, berfungsi sebagai alat untuk membentuk karakter dan nilai-nilai demokratis di masyarakat. Namun, penerapan pendidikan demokrasi di negara-negara berkembang seringkali menghadapi tantangan signifikan, terutama ketika kebijakan pendidikan berada di bawah kendali kekuasaan otoriter. Penelitian ini mengeksplorasi dinamika ini, termasuk pengaruh kekuasaan terhadap implementasi nilai-nilai demokrasi, peran pendidikan kewarganegaraan, dan relevansi filsafat pendidikan modern dalam membentuk kesadaran politik masyarakat.
Filsafat Pendidikan Modern dan Demokrasi
Filsafat pendidikan modern menekankan pengembangan karakter, pemikiran kritis, dan kesadaran sosial sebagai fondasi utama masyarakat demokratis. Dalam konteks demokrasi, pendidikan tidak hanya menjadi alat transfer pengetahuan, tetapi juga instrumen untuk membangun kapasitas individu agar berpartisipasi aktif dalam proses politik. Pendidikan kewarganegaraan memainkan peran penting dengan mengajarkan siswa tentang hak dan kewajiban sebagai warga negara serta pentingnya partisipasi dalam pengambilan keputusan (Mazid, 2024).
Namun, dalam konteks otoriter, penerapan nilai-nilai demokrasi sering kali diabaikan atau dibatasi. Sistem politik yang menekan kebebasan berpendapat dan memusatkan kontrol pada negara dapat mengubah pendidikan menjadi alat indoktrinasi, bukan pemberdayaan (Hartoko, 2016). Ini menciptakan tantangan bagi filsafat pendidikan modern untuk mempertahankan idealismenya di tengah kendala struktural.
Pengaruh Kekuasaan Otoriter terhadap Pendidikan Demokrasi
Dalam sistem otoriter, kekuasaan memengaruhi pendidikan melalui kebijakan yang membatasi ruang diskusi kritis di kelas. Pendidikan sering kali diarahkan untuk mendukung ideologi pemerintah, yang mengurangi peluang siswa untuk mengembangkan pemikiran independen. Kurikulum pendidikan kewarganegaraan, misalnya, dapat dimanipulasi untuk mempromosikan narasi politik tertentu alih-alih menanamkan nilai-nilai universal seperti toleransi dan keadilan (Hidayah, 2023).
Sebagai contoh, penelitian menunjukkan bahwa di negara-negara berkembang, kurangnya pelatihan guru untuk mengajarkan nilai-nilai demokrasi secara efektif menjadi hambatan utama. Guru sering kali hanya mengikuti panduan kurikulum yang disediakan oleh pemerintah tanpa memahami esensi dari nilai-nilai demokrasi (Rosmawardani, 2023). Selain itu, kurangnya sumber daya, seperti bahan ajar yang relevan dan dukungan infrastruktur, semakin memperburuk situasi (Aqilla, 2024).
Pendidikan Kewarganegaraan sebagai Alat Transformasi Sosial
Di sisi lain, pendidikan kewarganegaraan tetap memiliki potensi besar sebagai alat transformasi sosial. Mata pelajaran ini dapat menjadi medium untuk membangun kesadaran politik di kalangan siswa dan mempromosikan nilai-nilai seperti kesetaraan, kebebasan, dan tanggung jawab kolektif. Pendidikan kewarganegaraan juga memberikan pemahaman tentang bagaimana warga negara dapat terlibat dalam proses politik, bahkan di lingkungan yang terbatas secara demokratis (Tunggal, 2023).
Pentingnya pengalaman belajar partisipatif, seperti diskusi kelompok dan simulasi pemilu, menjadi relevan dalam konteks ini. Metode ini memungkinkan siswa untuk memahami praktik demokrasi secara langsung, meskipun kebijakan negara tidak mendukung sepenuhnya (Prabowo, 2023).
Relevansi Filsafat John Dewey
Pemikiran John Dewey tentang pendidikan sebagai pengalaman belajar yang partisipatif memiliki relevansi tinggi dalam membentuk pendidikan demokrasi di negara-negara berkembang. Dewey berargumen bahwa pendidikan harus menciptakan lingkungan di mana siswa dapat belajar melalui interaksi sosial dan refleksi kritis. Dalam konteks otoriter, pendekatan ini dapat membantu siswa memahami nilai-nilai demokrasi meskipun ruang kebebasan dibatasi.
Namun, penerapan ide-ide Dewey sering kali terhalang oleh resistensi dari institusi pendidikan yang konservatif. Banyak sekolah di negara berkembang masih mengadopsi metode pengajaran tradisional yang tidak memberikan ruang bagi siswa untuk berdiskusi secara bebas (Muliadi, 2023).
Tantangan dalam Implementasi Pendidikan Demokrasi di Negara Berkembang
Implementasi pendidikan demokrasi di negara berkembang menghadapi tantangan besar, termasuk:
- Keterbatasan Sumber Daya
Banyak sekolah di negara berkembang kekurangan infrastruktur dan bahan ajar yang mendukung pendidikan demokrasi. Tanpa sumber daya yang memadai, guru sulit menciptakan pengalaman belajar yang bermakna bagi siswa. - Kontrol Politik
Sistem politik yang cenderung otoriter membatasi ruang bagi guru dan siswa untuk mengeksplorasi nilai-nilai demokrasi. Kurikulum sering kali diawasi ketat untuk memastikan kesesuaiannya dengan ideologi pemerintah. - Kurangnya Pelatihan Guru
Guru sering kali tidak memiliki pelatihan yang memadai untuk mengajarkan nilai-nilai demokrasi. Mereka cenderung fokus pada aspek kognitif dari pendidikan kewarganegaraan, sementara aspek afektif dan partisipatif sering terabaikan (Rube'i & Suhaida, 2021). - Ketimpangan Digital
Di era teknologi, akses terhadap sumber daya pendidikan digital menjadi penting. Namun, kesenjangan digital antara siswa di daerah perkotaan dan pedesaan masih menjadi masalah besar (Mujakir, 2023).
Peluang untuk Pendidikan Demokrasi
Meskipun tantangan tersebut signifikan, peluang untuk memperkuat pendidikan demokrasi tetap ada. Beberapa peluang yang dapat dimanfaatkan adalah:
- Peningkatan Kesadaran Global
Gerakan global untuk pendidikan inklusif dan demokratis menciptakan tekanan bagi negara-negara berkembang untuk mereformasi sistem pendidikan mereka. - Integrasi Teknologi
Teknologi dapat digunakan untuk memperluas akses terhadap sumber daya pendidikan demokrasi. Platform digital memungkinkan siswa dan guru untuk mengakses materi yang mungkin tidak tersedia secara lokal (Yudianto & Fauziati, 2021). - Pendidikan Multikultural
Integrasi nilai-nilai multikultural dalam kurikulum dapat membantu siswa menghargai keragaman dan membangun masyarakat yang lebih inklusif (Khoirunnisa, 2022). - Kolaborasi Antarpemangku Kepentingan
Kerja sama antara pemerintah, sekolah, dan masyarakat dapat menciptakan lingkungan yang mendukung pendidikan demokrasi, bahkan di tengah kendala politik (Aqilla, 2024).
Kesimpulan
Dinamika pendidikan demokrasi dalam konteks kebijakan otoriter di negara berkembang menunjukkan adanya tantangan yang signifikan, tetapi juga peluang yang menjanjikan. Filsafat pendidikan modern, terutama pemikiran John Dewey, memberikan dasar yang kuat untuk menciptakan sistem pendidikan yang mendukung nilai-nilai demokrasi. Namun, keberhasilan implementasi pendidikan demokrasi membutuhkan kolaborasi antara berbagai pihak, termasuk pemerintah, guru, dan masyarakat. Dengan mengatasi tantangan seperti keterbatasan sumber daya dan resistensi politik, pendidikan dapat menjadi alat yang efektif untuk membangun masyarakat yang lebih demokratis.
Sumber
Aqilla, A. (2024). Tinjauan Terhadap Peran Aktif Warga dalam Menerapkan Nilai Kewarganegaraan di Masyarakat: Studi Kasus di Lingkungan RT 027/RW 009 Kelurahan Mojoroto Kota Kediri. jpem, 1(3), 13. https://doi.org/10.47134/jpem.v1i3.302
Hartoko, V. (2016). Otoritarianisme dan Dukungan Terhadap Demokrasi: Kajian Meta Analisis. Buletin Psikologi, 24(2), 136. https://doi.org/10.22146/buletinpsikologi.22771
Hidayah, Y. (2023). Membangun Demokrasi Sehat Dalam Kajian Pendidikan Kewarganegaraan. Asanka Journal of Social Science and Education, 4(2). https://doi.org/10.21154/asanka.v4i2.4813
Khoirunnisa, S. (2022). Analisis Manajemen Pendidikan Sekolah Dasar Berorientasi Multikultural. Jurnal Eduscience, 9(1), 255-266. https://doi.org/10.36987/jes.v9i1.2624
Mazid, S. (2024). Penguatan Civic Skills Melalui Pengembangan Model Ideal Problem Solving. Indonesian Journal of Education and Development Research, 2(1), 614-623. https://doi.org/10.57235/ijedr.v2i1.1914
Mujakir, M. (2023). Analisis Kemampuan Mahasiswa Pendidikan Kimia Uin Ar-Raniry dalam Mengintegrasikan Ilmu Kimia Dengan Al-Qur'an dan Hadist. Jurnal Inovasi Pendidikan Kimia, 17(2), 92-99. https://doi.org/10.15294/jipk.v17i2.37808
Muliadi, E. (2023). Future-Oriented Education: The Contribution of Educational Philosophy in Facing Global Challenges. Jurnal Ilmiah Profesi Pendidikan, 8(4), 2420-2427. https://doi.org/10.29303/jipp.v8i4.1807
Prabowo, N. (2023). Urgensi Pendidikan Demokrasi dalam Peningkatan Partisipasi Masyarakat. Edu Society Jurnal Pendidikan Ilmu Sosial Dan Pengabdian Kepada Masyarakat, 3(1), 865-871. https://doi.org/10.56832/edu.v3i1.311
Rosmawardani, A. (2023). Analisis Peran Guru Dalam Membangun Nilai-Nilai Demokrasi Siswa Melalui Pembelajaran PPKN di MAN 2 Ponorogo. Jiip - Jurnal Ilmiah Ilmu Pendidikan, 6(8), 5532-5541. https://doi.org/10.54371/jiip.v6i8.2044
Rube'i, M. and Suhaida, D. (2021). Penanaman Nilai Demokrasi Dalammata Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan pada Mahasiswa Program Studi PPKN IKIP PGRI Pontianak. Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan, 5(1), 97-108. https://doi.org/10.31571/pkn.v5i1.2246
Tunggal, S. (2023). Membangun Kesadaran Politik Warga Negara Melalui Pendidikan Kewarganegaraan. JOCER, 1(1), 11-15. https://doi.org/10.60153/jocer.v1i1.9
Yudianto, Y. and Fauziati, E. (2021). Pembentukan Karakter Siswa dalam Pendidikan Karakter Ditinjau Dari Aliran Progresivisme. Jurnal Sosial Teknologi, 1(8), 840-847. https://doi.org/10.59188/jurnalsostech.v1i8.170
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H