Mohon tunggu...
Taufik Samsuri
Taufik Samsuri Mohon Tunggu... Dosen - Mahasiswa Ilmu Pendidikan Universitas Ganesha

Dedikasi Untuk Pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kekuasaan dan Pendidikan, Harmoni atau Kontestasi?

28 November 2024   13:44 Diperbarui: 28 November 2024   14:00 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pendahuluan
Kekuasaan dan pendidikan memiliki hubungan yang saling melengkapi sekaligus problematis. Kekuasaan dapat menjadi kekuatan positif dalam pendidikan dengan menciptakan kebijakan yang mendukung kemajuan pendidikan. 

Namun, kekuasaan juga dapat menjadi alat dominasi yang membatasi kebebasan berpikir dan kreativitas. Hubungan antara keduanya sering kali mencerminkan kontestasi antara tujuan ideal pendidikan sebagai wahana pemberdayaan individu dan kekuasaan sebagai instrumen kontrol sosial.

Pendidikan sering digunakan untuk melanggengkan struktur kekuasaan, baik melalui kurikulum, kebijakan, maupun pengelolaan institusi pendidikan. Sebaliknya, pendidikan juga berpotensi menjadi alat untuk melawan dominasi kekuasaan dengan membentuk generasi yang berpikir kritis dan inovatif.

Pendidikan sebagai Alat Kekuasaan

Dalam sistem pendidikan, kekuasaan kerap diterjemahkan melalui kebijakan, kurikulum, dan distribusi sumber daya. Michael W. Apple menyebutkan bahwa politik kebudayaan sering kali disalurkan melalui sistem pendidikan, yang secara tidak langsung mencerminkan ideologi negara. 

Kurikulum sering kali menjadi alat untuk menanamkan nilai-nilai tertentu, yang tidak jarang membatasi kreativitas peserta didik. Proses ini disebut domestifikasi atau penjinakan, di mana siswa hanya menjadi penerima nilai-nilai yang ada tanpa memiliki ruang untuk berpikir kritis.

Fenomena domestifikasi terlihat jelas dalam sistem pendidikan yang terlalu fokus pada tes objektif dan pencapaian ijazah. Tes objektif sering kali tidak mendorong siswa untuk berpikir analitis, melainkan hanya menuntun mereka untuk menjawab pertanyaan secara mekanis. Ini menciptakan generasi yang terlatih untuk mengikuti aturan, tetapi kurang memiliki kemampuan inovasi.

Demokrasi dalam Pendidikan

Sistem pendidikan yang demokratis bertujuan menciptakan manusia yang bebas, kritis, dan mampu menghadapi tantangan dunia modern. Namun, penerapan prinsip demokrasi dalam pendidikan sering menghadapi kendala. 

Sistem yang hierarkis dan terpusat membatasi partisipasi masyarakat dan pendidik dalam menentukan kebijakan pendidikan. Kekuasaan dalam pendidikan sering kali hanya menjadi alat untuk melanggengkan status quo.

Demokrasi dalam pendidikan menuntut adanya kurikulum yang inklusif dan beragam, yang memungkinkan siswa memahami berbagai perspektif. Pendekatan ini juga membutuhkan desentralisasi kebijakan, sehingga institusi pendidikan lokal dapat menyesuaikan kurikulum dengan kebutuhan komunitas setempat.

Kekuasaan sebagai Kekuatan Transformatif

Kekuasaan tidak selalu menjadi alat dominasi. Dalam pendidikan, kekuasaan dapat berfungsi sebagai kekuatan transformatif yang mendorong perubahan positif. Kekuasaan transformatif memungkinkan terciptanya lingkungan pendidikan yang mendukung inovasi, kolaborasi, dan pemberdayaan peserta didik serta pendidik. Hal ini dapat diwujudkan melalui kebijakan yang partisipatif dan inklusif.

Contohnya, kekuasaan transformatif dapat diterapkan dengan memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah dan pendidik untuk mengembangkan kurikulum yang relevan dengan kebutuhan lokal. 

Selain itu, kebijakan pendidikan yang mendukung pelatihan guru secara berkelanjutan dan penguatan peran masyarakat dalam pengelolaan sekolah dapat menciptakan sistem pendidikan yang lebih adaptif dan responsif.

Tantangan dan Solusi dalam Hubungan Kekuasaan dan Pendidikan

  1. Domestifikasi dan Stupidifikasi

Sistem pendidikan yang terlalu kaku sering kali membunuh kreativitas siswa. Untuk mengatasi hal ini, diperlukan pendekatan yang lebih fleksibel dalam penyusunan kurikulum dan metode evaluasi. Pembelajaran berbasis proyek dan kolaborasi dapat menjadi solusi untuk mendorong siswa berpikir kritis dan kreatif.

  1. Indoktrinasi Kurikulum

Kurikulum sering kali digunakan sebagai alat untuk menanamkan ideologi tertentu. Solusinya adalah menciptakan kurikulum yang inklusif dan memberi ruang bagi beragam perspektif. Kurikulum yang dirancang secara partisipatif akan lebih relevan dengan kebutuhan masyarakat.

  1. Partisipasi Masyarakat dalam Pendidikan

Pendidikan harus melibatkan semua pemangku kepentingan, termasuk masyarakat. Partisipasi masyarakat dalam penyusunan kebijakan pendidikan dapat meningkatkan akuntabilitas dan relevansi sistem pendidikan.

 Penutup

Hubungan antara kekuasaan dan pendidikan harus diarahkan pada sinergi untuk menghasilkan perubahan yang berkelanjutan. Kekuasaan yang digunakan secara bijaksana dapat menciptakan pendidikan yang inklusif, inovatif, dan adaptif. 

Dengan kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan pendidik, pendidikan dapat menjadi motor penggerak transformasi sosial yang lebih luas. Mari kita dorong penggunaan kekuasaan yang transformatif dalam pendidikan untuk menciptakan masyarakat yang lebih adil dan demokratis.

Sumber:

Musdiani. (2010). KEKUASAAN DAN PENDIDIKAN. Visipena, 1(1), 56-66. https://doi.org/10.46244/visipena.v1i1.23

Hizam, I., & Baharudin. (2022). PERAN KEKUASAAN DALAM PENDIDIKAN. SOCIETY, 13(1), 47–52. https://doi.org/10.20414/society.v13i1.5275

Fatih, M., Alfi, C., & Hadi, S. (2023). Analisis Kebijakan dan Kekuasaan pada Pendidikan. Jurnal Pendidikan : Riset Dan Konseptual, 7(2), 201-209. doi:10.28926/riset_konseptual.v7i2.642

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun