Oleh Taufik Rahayu
Mahasiswa S1 Sastra Sunda FIB Unpad
Membaca tulisan Prof. Dr. H. Ganjar Kurnia yang dimuat Koran Pikiran Rakyat hari Sabtu, 19 Januari 2013 di rublik Opini, yang berjudul “Unpad Nyaah ka Jabar”. Seketika itu juga saya merasa terkenang masa-masa perjuangan saya saat masuk Unpad pada tahun 2009 hingga menjadi Mahasiswa Sastra Sunda Unpad sampai sekarang. Ya, saya inilah bukti nyata mahasiswa korban dari “Unpad Nyaah ka Jabar”.
Saya berasal dari desa terpencil, sebelumnya saya tak pernah bermimpi bisa menginjakan kaki disebuah Universitas. Karena, di desa tempat saya dilahirkan pada saat itu, pendidikan (kuliah) bukan hal yang diutamakan masyarakat. Orang-orang desa cenderung tertarik dengan pekerjaan dan investasi masa depan dalam bidang ekonomi. Satu-satunya golongan orang yang sadar terhadap pendidikan adalah mereka kaum akademisi (guru). Tuan-tuan tanah yang secara ekonomi mampu untuk meneruskan anaknya ke bangku kuliah, mereka cenderung memanjakanan anak-anaknya, menikahkannya, atau meneruskan bisnis keluarga seperti: mengurus sawah dan kebun.
Kampung halaman saya tepatnya di Kampung Batusari, Lengkong, Desa Sindangsari, Kecamatan Cisompet, Kabupaten Garut. Sebuah desa nan jauh di sana, di bawah kaki gunung kecil. Desa yang damai dan tergolong kurang maju (untuk ukuran moderenisasi), karna sampai sekarang akses jalan menuju desa harus ditempuh dengan jalan kaki selama sekitar 45 menit dari jalan raya, atau menggunakan ojek dengan medan jalan yang masih terjal. Dengan rute yang naik turun dan berbelok-belok melewati perkebunnan karet dan kehutanan. Bahkan listrik pun baru masuk beberapa tahun ke belakang.
Dosen-dosen di Sastra Sunda terkadang suka bergurau, “Ti mana urang Cisompet bisa nyaho Unpad?” saya sendiri hanya bisa menggelengkan kepala. Lulus SMP, saya kemudian dibawa Kaka ke Bandung untuk disekolahkan di SMA, karna waktu taun 2004 itu, orang tua tidak mampu untuk menyekolahkan ke tingkat SMA. Di desa saya waktu itu, menyekolahkan sampai tingkat SMP saja sudah menjadi hal yang hebat. Kebanyakan lulusan SMP atau SD di desa saya, mereka langsung bekerja ke kota Bandung atau Jakarta.
Lulus dari SMA pada tahun 2007, saya tak lantas daftar SNMPTN, jangankan daftar atau terpikir bisa kuliah, fokus saya waktu itu hanya bagaimana saya mendapat pekerjaan yang layak, agar bisa mulangtarima dan membantu perekonomianorang tua. Tapi, karena jalan nasib berkata lain, setelah saya bekerja disebuah media lokal sebagai staf umum. Pada tahun 2008 saya berkenalan dengan salah satu Wartawan Majalah Manglé, Kang Asep GP. Kang Asep lah yang “mendoktrin” saya untuk melanjutkan kuliah ke Unpad. Selama setaun saya menabung untuk persiapan biaya kuliah.