Rentetan aksi mahasiswa dari tanggal 19 sampai tanggal 30 September 2019 merupakan reaksi terhadap pengambilan kebijakan yang semena-mena yang dilakukan oleh pemerintah dan DPR. Beragam produk legislasi yang merugikan rakyat dibahas dan sebagian telah disahakan tanpa mendengar suara publik.Â
Seperti yang sudah diketahui bahwa, produk legislasi seperti Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Revisi UU KPK yang dinilai sangat kontrofersial dan menghianati semangat reformasi.Â
Ini langsung menjadi isu pokok dan masuk dalam point tuntutan mahasiswa. Dengan mengusung isu sentral yaitu Reformasi Dikorupsi, mahasiswa di seluruh daerah di Indonesia kompak bergerak turun kejalan member kuliah umum kepada penguasa. Ini tentu menjadi pengingat bagi penguasa bahwa sebenarnya gerakan mahasiswa tidak mati.Â
Rangkaian aksi mahasiswa pada bulan September lalu merupakan kebangkitan gerakan mahasiswa yang sebelumnya sempat mati suri, dan gerakan ini dinilai merupakan yang terbesar setelah reformasi 1998.
Kita akan mencoba mencari benang merah antara gerakan mahasiswa ini dengan etika politik. Frans Magniz Suseno dalam bukunya Etika Politik menjelaskan bahwasanya manusia memiliki dimensi politis, yang bilamana tidak diiringi dengan pengetahuan tentang etika dalam politik tentu menjadi suatu penyimpangan dalam politik. Lebih jelasnya, etika politik adalah nilai dasar moral dimensi politis manusia.Â
Bisa kita artikan secara sederhana adalah tindakan moral dalam berpolik. Inilah yang menjadi dasar teori untuk melihat dan menganalisa gerakan mahasiswa September lalu.
Politik mengharuskan kita memegang teguh nilai dasar moral, dengan demikian keputusan politik juga mempertimbangkan masalah etis dan implikasi moralnya terhadap masyarakat. Magniz menjelaskan bahwa suatu tindakan atau keputusan disebut politis apabila memperhatikan masyarakat secara keseluruhan. Artinya seorang politisi adalah seorang yang dalam tindakan politis selalu mempertimbangkan masyarakat secara keseluruhan.
Disinilah sikap skeptis mahasiswa terhadap politisi. Saya menilai ada problem moral-etis yang terjadi dalam setiap individu pengambil keputusan. Pemerintah dan DPR dipertanyakan legitimasi pengambilan keputusannya terhadap berbagai keputusan yang kontroverial. Patut dipertanyakan status sebagai politisi kalau kita merujuk pada teori etika politik Frans Magniz Suseno. Mungkin pendekatan teorinya terlalu banyak menaruh unsur etis dan moral, sehingga definisi politisi cenderung ternilai normatif atau sebagai bentuk yang ideal.Â
Tetapi itulah etika politik, etika politik menurut hemat penulis merupakan politik itu sendiri, sehingga cara berpolitik sudah seharusnya adalah cara bagaimana bertindak dengan baik dan bijak.
Jika kembali lagi kita melihat realitas yang terjadi dalam eksekutif dan legislatif, kita bisa melihat betapa besarnya problem moral-etis politik. DPR dan Pemerintah seakan kompak menggoalkan produk legislasi yang bermasalah tanpa ada pertimbangan suara mayoritas. Konsolidasi kekuasaan terjadi antara dua lembaga negara yang seharusnya saling melakukan check and balancies demi menjaga jalannya pemerintahan, kini satu suara dalam meloloskan RUU KPK.
Tidak salah jika dari pengamatan menyimpulkan ada suatu persekutuan jahat antara orang yang didalam sistem dan yang di luar sistem untuk mencapai kepentingan jahat tertentu. Tentu ini gerak yang dinamis, tidak menutup kemungkinan juga bahwa orang didalam sistem juga ingin ikut bermain dalam persekutuan jahat itu.