Transisi politik pada hakikatnya adalah transisi dari kebijakan lama ke kebijakan baru. Untuk itu transisi yang diharapkan adalah transisi yang memunculkan output yang berpihak pada masyarakat kebanyakan. Untuk itu, proses demokrasi yang diharapkan adalah demokrasi yang tidak hanya dimaknai dengan demokrasi elektoral, melainkan demokrasi yang bisa mengonsolidasikan kepentingan masyarakat kecil dengan tidak meletakkan tempat khusus untuk kepentingan oligarki.
Beberapa kalangan berpendapat bahwa salah satu demokrasi yang telah terkonsolidasi ditandai oleh dua kali pemilihan umum yang jujur, adil, langsung, bebas dan tanpa interupsi. Menurut saya, ini adalah penyempitan makna demokrasi yang hanya menggambarkan demokrasi yang prosedural.
Demokrasi prosedural seperti ini, tidak mengkaji makna demokrasi yang sesungguhnya. Jika terus dimaknai seperti ini, demokrasi di negara kita hanya akan tergambarkan sebagai pseudo democracy atau semi demokrasi.
Melihat berbagai macam masalah demokrasi saat ini, sebuah pemaknaan yang bodoh jika demokrasi hanya dimaknai demokrasi elektoral. Konflik masyarakat sipil dengan aparat yang tidak segan menembaki massa aksi adalah wujud pembungkaman dan merupakan kemerosotan demokrasi.
Kita bisa melihat berbagai peristiwa di mana aparatus militer menjadi penjaga para oligarki. Keadaan ini tidak bisa terelakkan karena oligarki saat ini kedudukannya sejajar dengan penguasa. Mereka leluasa menari di atas kepemimpinan penguasa yang terhegemoni oleh sistem kapitalisme.
Mereka berdiri di atas timbangan dewi Themis bersama para penguasa dengan sebuah sistem saling menguntungkan. Bukan sosio-demokrasi yang mereka bangun, tetapi oligarchy democracy yang akan menyingkirkan kepentingan krusial masyarakat sipil.
Masyarakat yang diharapkan akan berperan memperjuangkan nilai-nilai demokrasi kini terpolarrisasi dengan berbagai macam kepentingan. Dan tidak heran merupakan penyembah penguasa.
Kaum pro demokrasi kesulitan mengumpulkan kekuatan. Karna ada yang dari mereka terhegemoni dengan program pemerintah dan telanjur masuk terlalu dalam ke pusaran politik dan oligarkh.
Demokrasi saat ini bersifat keabu-abuan, tidak kembali ke sistem otoriterianisme dan juga tidak maju ke demokrasi dengan penerapan yang semestinya.
Model demokrasi seperti ini akan terselesaikan jika penguasa tidak bermain-main dengan para oligarki dan secepatnya mengonsolidasikan demokrasi dengan kepentingan rakyat.
Begitupun politik. Politik saat ini hanyalah kong-kalikong politisi dengan para oligarkh. Model seperti ini akan berakhir ketika politisi menjalankan tugasnya semestinya. Peka terhadap kepentingan yang mendesak dan berhasil mengeluarkan output yang memuaskan untuk masyarakat.
Saat ini sperti yang dikemukakan Seymour Martin Lipset pada tahun 1950-an bahwa, demokrasi saat ini hanya direduksi sebagai formasi para elite politik dalam arena perjuangan kompetitif untuk merebutkan suara mayoritas pemilih yang pasif. Dan oleh Adam Przewrski "demokrasi yang sempurna sekalipun secara prosedural tetap menyisakan oligarki; kuasa si kaya atas si miskin".
Pada pemilu 17 april nanti, ada beberapa oligarki tambang yang berlindung di bawah kekuasaan petahana maupun penantang. Ini bisa diartikan bahwa para oligarkh telah mendapatkan tempat yang ideal untuk mengamankan posisinya, yaitu berlindung di balik kekuasaan.
Tulisan ini bukan mengajak larut dalam pesimisme, tetapi ini menjadi pemantik untuk kaum pro demokrasi agar  menyatukan kekuatan. Pesan yang disampaikan adalah "Mari bung, rebut demokrasi..!!".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H