Mohon tunggu...
Taufik H. Mihardja
Taufik H. Mihardja Mohon Tunggu... -

Sehari-hari merawat Kompas.com dan Kompas TV

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Nuansa Bermusuhan di Kampanye Kotor!

20 Juni 2014   21:38 Diperbarui: 20 Juni 2015   02:58 1568
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="aligncenter" width="644" caption="Mural Gerakan Pemilu Bersih/Kompasiana (Kompas/Heru Sri Kumoro)"][/caption] Pemilu presiden dengan mengonteskan dua calon ini adalah pengalaman baru, bagi banyak pihak. Dan, karena pada akhirnya harus ada yang menang dan kalah, maka upaya untuk memenangkan kontes tersebut menjadi sangat menegangkan karena semua energi ditarik hanya ke dua sumbu. Tidak ada sumbu alternatif. Sumbu kiri atau sumbu kanan. Atau dalam istilah yang sering dipakai jurnalis, ada dua kubu. Kubu No 1 dan Kubu No 2. Karena kalau tidak mendukung No 1, kita harus mendukung No 2, (kecuali Anda yang memang otaknya sudah Golput ya) maka perseteruan menjadi dua arah, bolak-balik, dan sangat tajam. Makin tajam persaingan, makin terasa nuansa permusuhannya karena makin meningkat juga kekhawatiran kalah. Pada sisi yang ekstrem, satu pihak lalu melakukan apa yang hari-hari ini terkenal dengan istilah kampanye hitam. (Saya sendiri lebih cenderung menyebut kampanye kotor atau kampanye tak beradab, karena istilah kampanye hitam bisa diartikan positif, yakni sebagai aksi membela hak-hak kaum berkulit hitam). Melihat lawan sebagai musuh, bukan sebagai mitra tanding, menyebabkan orang cenderung menggunakan kata-kata yang (maaf) kotor, menusuk hati, nggak pakai perasaan, dan bahkan - seperti saya tadi katakan - tidak sopan dan tidak beradab. Sebut saja, istilah-istilah berikut: capres boneka, penculik, pembunuh, 'kedoknya terbuka', tukang pencitraan dll. Terakhir muncul istilah jenderal stroke! Semuanya menunjukkan suatu suasana hati dan pikiran yang cenderung ingin membunuh karakter lawan. Bahwa seseorang mengungkap rekam jejak, ya itu wajar dan pada tahap tertentu bahkan harus, karena kita ingin mengetahui seutuhnya calon pemimpin kita. Tetapi bukankah hal itu bisa dilakukan dengan cara-cara yang sopan, atau cara-cara tertentu yang tidak menimbulkan kebencian  di pihak para pengikutnya atau para pengagumnya. Pengalaman pertama dengan dua kontestan ini, dengan segala ketegangannya, bagaimanapun harus menjadi bagian dari pembelajaran. Sebagaimana carut-marut dalam mengembangkan demokrasi pada 10 tahun pertama alam reformasi juga menjadi bagian dari pembelajaran kita berdemokrasi secara beradab, rapi dan konstitusional. Kita tentu juga berharap bahwa nanti setelah 9 Juli, semua pihak kembali ke konsentrasi membangun negeri ini. Masing-masing memerankan peran pentingnya sesuai dengan kapasitasnya. Jangan malah membangun potensi permusuhan karena tidak menerima kekalahan. Maka siapapun nanti yang terpilih dan menjadi pemimpin baru, ia hendaknya pertama-tama adalah membasuh luka lawan politiknya. Tidak dengan menyemburkan air garam, tetapi sebaliknya memberikan unsur-unsur yang menciptakan kenyamanan. Menghapus dendam, membangun kerja sama. Caranya bermacam-macam, antara lain memberikan posisi penting kepada figur berkualitas dari pihak lawan politik kemarin. Semoga nuansa musuh, kelak bisa berubah menjadi nuansa kerja sama! Dan kita banyak memetik pelajaran baru dari pengalaman kemarin!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun