Telah banyak pakar antropologi, zoologi dan anatomi menelorkan berbagai teori tentang penciptaan sebagai jawaban terhadap konsep genesis. Kita sempat mempelajarinya ketika belajar teori evolusi dalam mata pelajaran biologi dibangku sekolah menengah dulu. Siapa yang masih ingat doktrin Lamarckisme, neo Lamarckisme, Darwinisme dan seleksi alam bahkan neo Darwinisme? Walaupun dizaman sekarang telah ada para ahli yang mampu menggoyang teori evolusi Darwin, semisal Harun Yahya yang pada zaman aku kuliah videonya gencar diputar dalam berbagai daurah aktifis FSKI. Akan tetapi konsep evolusi masih tetap bertahan dalam kancah akademis dan tradisi ilmiah, khususnya pada penelitian bidang paleoantropologi.
Sebagai catatan, museum klaster Bukuran merupakan museum yang sangat ilmiah. Kami bisa mengakses jurnal paleoantropologi berskala internasional, semisal keluaran Elsevierdikomputer yang tersedia didalam museum. Dari sanalah kami tahu, bahwa beberapa dosen kami di Fakultas Kedokteran UGM, berjasa dan berkonstribusi aktif dalam memajukan penelitian dan landasan ilmiah manusia purba dari Sangiran. Sebagai museum modern, museum-museum di Sangiran secara keseluruhan telah mengembangkan gameilmu pengetahuan terutama biologi untuk kalangan umum. Jadi pengunjung bisa terlibat aktif berinteraksi dengan ilmu pengetahuan selama berada didalam museum.
Tatkala melihat manekin homo erectus yang diperkirakan pernah hidup jutaan tahun yang lalu, pikiranku kembali menggugat eksistensi manusia purba dari Sangiran itu. Apakah iya mereka benar-benar ada dan apakah benar mereka merupakan cikal bakal manusia? Bagaimana mungkin kera besar berjalan tegak itu menjadi nenek moyang kita? Pertanyaan yang sama mungkin akan terus bergulir meretas zaman. Dimasa sekolah menengah dulu, murid-murid menerima begitu saja pendapat sembrono bahwa fosil-fosil tersebut merupakan bagian yang tersisa dari nenek moyang kita. Namun, disaat ilmu pengetahuan telah berkhianat kepada zaman, akankah pendapat tersebut masih bisa ditolelir?
Kepercayaan yang bersumber pada agama monoteistik khususnya agama Islam menjelaskan didalam kitab suci Al-Quran, bahwa nenek moyang seluruh umat manusia modern adalah Adam. Tiga agama samawi yang masih bertahan, mungkin akan berpendapat sama, walaupun sampai saat ini fosil Adam dan Hawa tak kunjung ditemukan. Namun kitab suci sudah menegaskan secara gamblang tentang keberadaan dan peran mereka sebagai kakek nenek moyang spesies manusia. Al-Quranul Karim menyebutkan didalam surah Al Hijr ayat 26 yang terjemahannya sebagai berikut:“Dan sungguh, Kami telah menciptakan manusia (Adam) dari tanah liat kering dari lumpur hitam yang diberi bentuk”. Yang dipertegas lagi dengan surat Al-‘Alaq ayat 2 tentang proses penciptaan umat manusia melalui firman-Nya yang berarti sebagai berikut:“Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah”. Nabi Adam Alaihiwassalam dan istrinya Hawa merupakan manusia pertama, nenek moyang segala bangsa didunia yang darah dan DNA nya masih kita warisi hingga hari ini. Kita sebagai anak cucu Adam diberi kelebihan akal pikiran oleh Allah SWT sehingga bisa mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam memimpin bumi ini. Teknologi biologi molekuler analisis DNA telah membuktikan keberbedaan manusia dari spesies anggota hominidae lainnya.
Berbicara mengenai teori evolusi dan manusia purba ini tidak akan pernah habis-habisnya, bahkan ketika aku sudah keluar dari museum. Namun sepanjang pengamatanku, dari begitu banyak nama yang diberikan kepada berbagai jenis fosil tengkorak terduga manusia purba, dapat disimpulkan bahwa secara general para ahli paleoantropologi membagi hominid atas beberapa klasifikasi seperti pithecanthropus, neanderthaldanhomo sapiens (kita). Homo sapiens sendiri dikelompokkan oleh para ahli antropologi ke dalam beberapa ras. Dari buku teks, kita dapat mengetahui bahwa pembagian ras manusia itu pun sangat beragam. Secara umum kita telah mengenal adanya ras kaukasoid, mongoloid dan negroid. Di Indonesia sendiri kita juga memiliki ras tambahan yakni austromelanosoid (orang-orang Papua).
Pikiranku masih terpaut pada pajangan berbagai variasi fosil tengkorak dilantai dasar museum. Pajangan fosil yang diperkirakan para ahli adalah refleksi diri kita dari masa ke masa. Manekin semi robotik tersebut memperagakan kemungkinan fisik dari berbagai fosil tengkorak. Teringat sewaktu kecil dulu, aku adalah seorang penakut yang akan menjerit histeris ketika bertemu gambar tengkorak dan akan segera pingsan jika tengkorak tersebut nyata dihadapanku. Nah, puluhan tahun sesudah itu, aku termasuk kedalam kategori orang yang tumbuh sebagai pengagum setiap detail anatomi tubuh dan kerangka manusia, sungguh manusia itu selalu berubah. Tapi apakah manusia benar-benar berevolusi?
Matahari sudah sedikit tergelincir kearah barat ketika kami keluar dari museum klaster Bukuran. Didalam museum aku merasa seperti berada dizaman pleistosen dan ketika melewati pintu keluar museum aku kembali terlempar ke Sangiran abad 21 Masehi. Siang itu terik, udara panas menguar keudara seolah letusan gunung api purba Sangiran masih menyisakan panasnya. Katastrofi letusan diperkirakan mengubah jalan sejarah Sangiran untuk selama-lamanya disamping fenomena geologi lain. Zaman sekarang, tidak ada lagi pithecanthropus, mammoth, badak, bahkan kuda nil di Sangiran kecuali fosilnya. Pada hari ini adalah hal lumrah bagi masyarakat Sangiran untuk mendapatkan fosil diladang pertanian atau dihalaman rumah mereka. Bahkan masyarakat Sangiran mungkin sudah lihai mengidentifikasi fosil-fosil tersebut. Aku jadi teringat bahwa disepanjang jalan terdapat banyak baliho yang menampilkan fosil dan wujud makhluk hidup serta perkiraan tahun hidupnya di Sangiran.
Kami bertanya kepada petugas museum, kemana selanjutnya pengembaraan kami akan bisa berlanjut. Petugas kemudian mengatakan ada tiga museum lagi ditempat terpisah yang bisa kami kunjungi. Dikarenakan hari sudah beranjak siang, kami memutuskan untuk mengunjungi museum induk Sangiran saja. Mobil kami kembali melaju diatas jalan kecil dan mulus itu. Pandemi batu akik ternyata sampai ke pedalaman Sangiran. Hampir disetiap halaman rumah kami menemukan penjualan dan pengasahan batu akik. Dizaman neolitikum dahulu, nenek moyang katanya membuat peralatan berburu dan memuja dari batu, akankah diera teknologi informasi ini, zaman tersebut berulang? Jika hal itu terjadi, tidakkah kalian berpikir, bahwa Sangiran tetaplah sama bahkan semenjak zaman nenek moyang, batu tak pernah lepas dari gaya hidup mereka hingga saat ini.