Mohon tunggu...
Dr.Taufik Hidayat
Dr.Taufik Hidayat Mohon Tunggu... Dosen - dokter forensik

Seorang dokter yang suka jalan-jalan,makan-makan,baca-baca, foto-foto, nonton-nonton dan nulis-nulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sepotong Cerita Perjalanan ke Tanah Sangiran

16 Juni 2016   11:35 Diperbarui: 20 Juni 2023   22:22 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
residen forensik di museum Sangiran (Dokpri)

Ide untuk bertandang ke Sangiran tidak datang begitu saja melesak kedalam otakku. Semenjak sekolah menengah, aku sudah tahu tentang Sangiran dari buku pelajaran sejarah. Pelajaran sejarah yang diajarkan ketika itu begitu menjemukan bagi murid-murid sekolah menengah yang menganggap kemahiran bermatematika dan berfisika sebagai lambang kejeniusan. Meskipun demikian, secara antimainstream, aku menyukai pelajaran sejarah karena bagiku mempelajari peradaban umat manusia dimasa lampau ibarat memasuki alam lain dengan nuansa berbeda. “Suatu saat, aku akan ke Sangiran untuk membuktikan kebenaran dan keindahan sejarah”, niat itu pernah terbersit didalam hati remajaku. Sebuah niat yang kelak akan dikabulkan oleh Allah SWT.

Hari terus merangkak maju. Waktu melipat dengan sangat cepat. Perjalanan takdir membawa diriku merantau ke Yogyakarta untuk melanjutkan pendidikan. Sejak pertama kali menginjakkan kaki dikota pelajar dan budaya ini, aku sudah jatuh cinta. Benarlah kabar yang aku dengar dari para musafir, bahwa Yogyakarta sangat recommended untuk dijajah oleh para pengejar ilmu dan pejalan berkantong cekak. Zaman telah merawat sebagian Yogyakarta dan membiarkan keagungan budaya dan tradisi lama Jawa hidup berdampingan dengan budaya urban kaum modern. Selain sarat akan sejarah dan budaya, bentang geografi Yogyakarta yang beragam memberikan nilai lebih kenapa daerah ini menjadi sangat dikenal diseantero nusantara bahkan dunia. Biaya hidup yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan daerah lain, menjadikan Yogyakarta benar-benar surga yang sempurna untuk para pengelana.

Niat yang pernah terbertik lima belas tahun silam sudah saatnya untuk diwujudkan menjadi sebuah kenyataan. Sangiran tidaklah terlalu jauh dari Yogyakarta, setidaknya masih satu pulau walau beda propinsi. Hari yang dinanti akhirnya tibalah jua. Bersama rekan-rekan residen forensik, kami akan menghabiskan akhir pekan dengan tujuan kampung halaman homo erectus yang sangat terkenal di pentas sejarah itu.

residen forensik di museum Sangiran (Dokpri)
residen forensik di museum Sangiran (Dokpri)

Medio April 2015. Pada suatu hari diakhir pekan yang cerah.

Bismillah. Aku dan seorang teman residen forensik menumpang kereta api paling pagi dari stasiun Yogyakarta menuju kota Solo, Jawa Tengah. Moda transportasi di pulau Jawa lebih maju dan bervariasi dibandingkan dengan transportasi yang ada di pulau asalku. Aku tidak mengatakan kalau dikampungku tidak ada kereta api. Akan tetapi, di pulau Jawa, pembangunan jalur kereta api yang pada awalnya diprakarsai oleh pemerintah Hindia Belanda itu tetap terjaga serta terus dikembangkan sampai hari ini. Jalur kereta api saat ini sudah terhubung hampir kesetiap kota di pulau Jawa yang padat penduduk.

Setelah lebih kurang satu jam perjalanan menembus udara pagi, kereta api Sriwedari yang kami naiki sampai distasiun Solo Balapan. Gesekan antara roda dengan rel kereta terdengar berdecit saat kereta api mulai berhenti. Untuk kereta api lokal antara Yogyakarta ke Solo maupun sebaliknya, tiket tersedia hampir setiap jam dengan beragam pilihan kereta. Kereta api Sriwedari ini merupakan salah satu diantaranya dan merupakan kereta yang cukup nyaman. Sepanjang perjalanan, pemukiman dan persawahan silih berganti terbentang dibalik jendela kereta. Demi melihat persawahan ditempa kuningnya berkas sinar mentari pagi dan rumpun padi yang meliuk disapa angin, kenangan akan kampung halaman dikaki Bukit Barisan sana terlempar begitu saja kepelupuk mata, menimbulkan riak kecil kerinduan. Ditambah sayup-sayup ratapan lagu Minang yang mengisi liang telingaku membuat pagi itu terguncang oleh kemelankolisan. Terkadang, menjadi sedikit hormonal itu memberikan sentuhan berwarna dalam kehidupan ini.

Distasiun sudah menanti seorang senior yang akan membawa kami ke tempat kejadian perkara. Solo sendiri merupakan dapur bagi masakan Jawa yang enak-enak, setidaknya begitulah pendapat teman-teman seresidensiku. Seniorku rumahnya memang di Solo, jadi dia tahu setiap lekuk kota Solo yang menyimpan sejuta kelezatan kuliner itu. Semilir angin kepagian membelai kota Solo, membuat hati mencelos dan perut semakin keroncongan. Susu murni hangat adalah asupan gizi pertama yang kami masukkan kedalam lambung sebagai penawar lapar, diikuti kue-kue jajanan pasar yang bertabur gula. Perjalanan dengan kereta api dipagi buta ternyata membawa kelaparan. Kami diajak kerumah si senior sambil menunggu matahari sedikit tinggi.

Keluarga seniorku akan ikut serta dan kami sepertinya akan menjadi bagian dari rombongan piknik sebuah keluarga bahagia. Tak apa-apalah, ada manfaatnya juga, selain bisa menghemat biaya perjalanan, kebersamaan akan menghilangkan kesan gila (jika dilakukan sendirian) bagi traveler minat khusus seperti yang akan kami lakukan pada hari itu. Berbicara tentang Sangiran, bahkan teman-teman seresidensiku yang orang Jawa tulen, belum pernah sekalipun kaki mereka menginjak di tanah pekuburan fosil itu.

Sangiran kaya akan fosil manusia dan hewan purba disetiap jengkal dan lapis tanahnya. Saat ini Sangiran menyandang prediket sebagai the homeland of the java man. Sangiran tidak hanya populer dalam lembaran buku sejarah sekolah menengah. Buku dan jurnal ilmiah paleoantropologi, bioantropologi, arkeologi dan lain sebagainya sangat akrab dengan Sangiran karena merupakan lahan penelitian kehidupan masa lalu dan manusia purba terlengkap didunia. Tiba-tiba aku teringat pada sepotong informasi yang pernah aku baca. Pada awal abad kedua puluh, Von Koeningswald, seorang ahli antropologi memulai penelitian dan menemukan fosil hominid di Sangiran. Dia mengikuti jejak pendahulunya Eugene Dubois, yang ternyata adalah seorang lulusan sekolah kedokteran. Sebelum melakukan penelitian dan penggalian manusia purba di Sangiran dan Trinil, Eugene Dubois pernah melakukan hal serupa di kampung halamanku (Sumatra Barat) dengan hasil nihil.

Dokpri
Dokpri

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun