Mohon tunggu...
taufik hidayat
taufik hidayat Mohon Tunggu... Lainnya - Aktivis politik dan penggiat pendidikan

Pernah menjadi anggota DPRD Kota Banjarmasin periode 1997-1999, 1999-2004 dan ketua DPRD Kota Banjarmasin periode 2004-2009. Sekarang aktif sebagai ketua BPPMNU (Badan Pelaksana Pendidikan Ma'arif NU) Kota Banjarmasin dan ketua Yayasan Pendidikan Islam SMIP 1946 Banjarmasin

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Sisi Baik dari Sisi Buruk Perpu Nomor 1 Tahun 2022

15 Desember 2022   21:10 Diperbarui: 15 Desember 2022   21:39 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Tanggal 12 Desember 2022, atau dua hari menjelang pengumuman partai politik yang lolos menjadi peserta pemilu 2024, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor I Tahun 2022 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum.

Semua hal tentu punya sisi baik dan buruk, termasuk perpu ini. Namun, sisi yang lebih baik dari perpu ini justru terletak pada sisi buruknya. 

Sisi baik yang tersurat adalah untuk mengakomodir penambahan provinsi baru di Papua. Karena sebagaimana yang umum sudah diketahui bahwa keberadaan suatu daerah baru identik dengan adanya daerah pemilihan baru, KPUD baru, Bawaslu Baru, kepengurusan parpol baru, dan lain sebagainya. Pokoknya banyak hal  yang serba baru, hehe

Oleh sebab itu logislah kalau Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum direvisi dalam bentuk perpu, karena itu langkah cepat bisa dilakukan. Kalau dengan UU tentu prosesnya akan panjang,  memakan waktu yang lama dan biaya yang besar. Lebih-lebih karena perubahannya tidak terlalu banyak atau tidak terlalu mendasar. Jadi, sekali lagi, cukuplah dengan perpu.

Memang, sepintas terlihat semua baik-baik saja. Semua logis dan memang harus dibuat pengaturan baru dalam bentuk perpu. Namun, kalau kita cermati pasal demi pasal, ternyata ada pasal yang boleh disebut sebagai sisipan, kalau tidak mau disebut susupan atau titipan.

Titipan? Ya, pasal ini terkait erat dengan wacana seorang ketua umum partai besar yang lagi berkuasa di negeri ini. Ternyata dalam perpu ini wacana itu telah diakomodir sedemikian rupa. Inilah sisi buruk yang saya maksud dari perpu itu. Dan justru dari sisi buruk inilah terdapat sisi baik yang luar biasa kalau kita mau mengembangkannnya.

Apa itu? Ternyata dalam perpu itu masuk satu pasal tentang peluang partai yang lolos parliament treshold pada pemilu 2019 untuk tetap menggunakan nomor urut yang sama. Artinya mereka boleh tidak ikut proses pengundian nomor urut sebagaimana yang wajib diikuti oleh partai politik lainnya.

Dalam pasal 179 ayat 3 secara gamblang disebutkan bahwa Partai politik yang telah memenuhi ketentuan ambang batas perolehan suara secara nasional untuk Pemilu anggota DPR pada tahun 2019 dan telah ditetapkan sebagai Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat menggunakan nomor urut Partai Politik Peserta Pemilu yang sama pada Pemilu tahun 2019 atau mengikuti penetapan nomor urut Partai Politik Peserta Pemilu yang dilakukan secara undi dalam sidang pleno KPU yang terbuka dengan dihadiri wakil Partai Politik Peserta Pemilu.

Pasal itu jelas sangat menguntungkan partai-partai lama yang sudah punya perwakilan di parlemen dan terasa merugikan partai baru (baik yang benar-benar baru atau partai lama non parlemen). Terasa ada ketidakadilan di sana. Partai parlemen tidak perlu susah-susah mensosialisasikan nomor urut partainya, sementara partai baru harus mati-matian memperkenalkannya kepada masyarakat. Karena tidak adil, maka pasal ini jelas buruk, apalagi bagi yang merasa dirugikan karenanya.

Terus, mengapa pasal buruk itu justru dikatakan punya sisi baik yang luar biasa?

Ibu Megawati sebagai pengusul menyatakan bahwa kalau harus menggunakan nomor baru lagi setiap pemilu maka itu akan menjadi beban bagi partai politik. Artinya, kalau boleh menggunakan nomor urut lama, maka akan tenjadi penghematan atau efisiensi.

Saya tidak bermaksud membela usulan itu, tetapi mencoba menelusuri sisi positif dari usulan yang agak nyeleneh itu, yang anehnya diakomodir dalam perpu ini. Kita memang tidak tahu pasti apakan pemerintah memang betul-betul melihat sisi positifnya sehingga diakomodir, atau justru karena sulit menolaknya.

Mari kita ikuti pola pikir sang pengusul bahwa penambahan pasal itu untuk efisiensi. Adanya efisiensi karena terjadinya penyederhanaan. Sederhana = mudah = murah. Jelas oke sekali!

Kalau begitu, bagaimana kalau kedepan undang-undang pemilu lebih disederhanakan lagi. Bentuknya undang-undang, jangan perpu, sehingga bisa disiapkan lebih matang. Tidak sekedar parpol parlemen berhak memakai nomor urut lama, tetapi lebih jauh dari itu.

Parpol yang punya perwakilan di parlemen berarti parpol itu sudah terbukti eksisitensinya. Maka, parpol itu tidak perlu lagi dilakukan verifikasi, walaupun hanya administratif, seperti yang masih berlaku saat ini. Sangat banyak energi yang terbuang hanya untuk mendapatkan status MS (memenuhi syarat) sehingga bisa lolos verifikasi administratif dan lolos sebagai peserta pemilu. Jadi ukuran MS itu adalah berhasil atau tidak mendapatkan kepercayaan rakyat dalam pemilu, bukan cuma syarat administratif yang bisa direkayasa.

Kemudian bagi parpol yang gagal mendapatkan kepercayaan rakyat, maka tidak boleh lagi ikut pemilu berikutnya. Kalau mau ikut lagi, harus dengan nama baru dan susunan kepengurusan yang baru. Setidaknya harus ada perubahan posisi KSB (ketua, sekretaris dan bendahara) di kepengurusan. Tidak boleh hanya melakukan sedikit perubahan nama saja.

Untuk partai non parlemen ini dan juga partai baru, tentunya perlu dilakukan verifikasi yang ketat agar partai politik yang betul-betul siap saja yang ikut berkontentasi dalam pemilu. Dengan demikian semoga bisa mengerem sahwat politik pihak-pihak tertentu yang doyan bikin partai dengan tujuan tertentu pula.

Kalau itu bisa diwujudkan, insyaallah pelan tapi pasti akan terjadi penyederhanaan partai politik di Indonesia. Jumlah partai tidak akan terlalu banyak sehingga membingungkan rakyat yang akan memberikan suaranya. Para petualang politik pun akan berkurang. Insyaallah. Aamiin YRA

Banjarmasin, 15/12/2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun