Tanggal 12 Desember 2022, atau dua hari menjelang pengumuman partai politik yang lolos menjadi peserta pemilu 2024, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor I Tahun 2022 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum.
Semua hal tentu punya sisi baik dan buruk, termasuk perpu ini. Namun, sisi yang lebih baik dari perpu ini justru terletak pada sisi buruknya.Â
Sisi baik yang tersurat adalah untuk mengakomodir penambahan provinsi baru di Papua. Karena sebagaimana yang umum sudah diketahui bahwa keberadaan suatu daerah baru identik dengan adanya daerah pemilihan baru, KPUD baru, Bawaslu Baru, kepengurusan parpol baru, dan lain sebagainya. Pokoknya banyak hal  yang serba baru, hehe
Oleh sebab itu logislah kalau Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum direvisi dalam bentuk perpu, karena itu langkah cepat bisa dilakukan. Kalau dengan UU tentu prosesnya akan panjang, Â memakan waktu yang lama dan biaya yang besar. Lebih-lebih karena perubahannya tidak terlalu banyak atau tidak terlalu mendasar. Jadi, sekali lagi, cukuplah dengan perpu.
Memang, sepintas terlihat semua baik-baik saja. Semua logis dan memang harus dibuat pengaturan baru dalam bentuk perpu. Namun, kalau kita cermati pasal demi pasal, ternyata ada pasal yang boleh disebut sebagai sisipan, kalau tidak mau disebut susupan atau titipan.
Titipan? Ya, pasal ini terkait erat dengan wacana seorang ketua umum partai besar yang lagi berkuasa di negeri ini. Ternyata dalam perpu ini wacana itu telah diakomodir sedemikian rupa. Inilah sisi buruk yang saya maksud dari perpu itu. Dan justru dari sisi buruk inilah terdapat sisi baik yang luar biasa kalau kita mau mengembangkannnya.
Apa itu? Ternyata dalam perpu itu masuk satu pasal tentang peluang partai yang lolos parliament treshold pada pemilu 2019 untuk tetap menggunakan nomor urut yang sama. Artinya mereka boleh tidak ikut proses pengundian nomor urut sebagaimana yang wajib diikuti oleh partai politik lainnya.
Dalam pasal 179 ayat 3 secara gamblang disebutkan bahwa Partai politik yang telah memenuhi ketentuan ambang batas perolehan suara secara nasional untuk Pemilu anggota DPR pada tahun 2019 dan telah ditetapkan sebagai Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat menggunakan nomor urut Partai Politik Peserta Pemilu yang sama pada Pemilu tahun 2019 atau mengikuti penetapan nomor urut Partai Politik Peserta Pemilu yang dilakukan secara undi dalam sidang pleno KPU yang terbuka dengan dihadiri wakil Partai Politik Peserta Pemilu.
Pasal itu jelas sangat menguntungkan partai-partai lama yang sudah punya perwakilan di parlemen dan terasa merugikan partai baru (baik yang benar-benar baru atau partai lama non parlemen). Terasa ada ketidakadilan di sana. Partai parlemen tidak perlu susah-susah mensosialisasikan nomor urut partainya, sementara partai baru harus mati-matian memperkenalkannya kepada masyarakat. Karena tidak adil, maka pasal ini jelas buruk, apalagi bagi yang merasa dirugikan karenanya.
Terus, mengapa pasal buruk itu justru dikatakan punya sisi baik yang luar biasa?
Ibu Megawati sebagai pengusul menyatakan bahwa kalau harus menggunakan nomor baru lagi setiap pemilu maka itu akan menjadi beban bagi partai politik. Artinya, kalau boleh menggunakan nomor urut lama, maka akan tenjadi penghematan atau efisiensi.