Sepintas ini hanya soal otak-atik kata. Hanya soal rame-rame saja. Tidak ada yang serius dan tidak ada yang perlu diseriusi. Namun, ketika kata “makar” muncul dalam sebuah pertemuan resmi, dihadiri banyak orang dan temanya tentang wawasan kebangsaan, tentunya akan melahirkan keterkejutan.
Alkisah, suatu ketika saya diajak seorang teman berkunjung ke sebuah desa terpencil. Teman ini seorang anggota DPRD yang sedang melakukan kunjungan ke konstituen atau para pemilih di daerah pemilihannya untuk melakukan sosialisasi wawasan kebangsaan. Saya diminta untuk menjadi salah satu nara sumbernya.
Awalnya acara berjalan lancar. Pertama teman saya yang menyampaikan maksud dan tujuannya berkunjung. Lanjut dengan sedikit penjelasan tentang apa itu wawasan kebangsaan dengan 4 konsesus dasar berbangsa dan bernegara itu. Tentu saja hanya selayang pandang, tidak seperti gaya kuliahan, hehe
Kemudian giliran saya sebagai nara sumber. Saya lebih suka bicara tentang sila ke-empat Pancasila. Lebih spesifik tentang pentingnya pemilu yang harus diikuti dengan baik. Intinya pilihlah calon wakil rakyat yang terbaik. Jangan memilih seorang calon wakil rakyat karena isi amplop yang dibagikannya.
Kalau memilih wakil rakyat karena uang, maka tidak mustahil akan terpilih wakil rakyat yang akan sibuk mengembalikan modal. Dia lupa dengan rakyat karena bekerja atas dasar prinsip seorang pedagang. Begitu banyak keluar modal, ya harus balik modal. Kalau sudah balik modal, ya berfikir mencari laba. Kalau sudah dapat laba, ya berfikir lagi untuk ngumpulin modal pemilu berikutnya. Soal kepentingan rakyat itu sudah menjadi nomor yang kesekian saja, hehe.
Ketika anda protes, dengan enteng dia akan menjawab, “kan, suara anda sudah saya bayar ....” Akhirnya, pemilu menjadi sesuatu yang sia-sia belaka. Bukan kemajuan yang didapat, bisa jadi yang diperoleh adalah kemunduran atau kesengsaraan rakyat.
Nah, ketika sampai waktunya acara tanya jawab, tiba-tiba seorang tokoh masyarakat adat di sana menyampaikan pertanyaan, “bagaimana caranya agar kami di kampung ini bisa makar?” Pertanyaan yang terasa sebagai pernyataan keras. Pernyataan yang jelas sangat bertentangan dengan tujuan sosioalisasi wawasan kebangsaan yang sedang dilakukan.
Kampung itu memang terisolir. Untuk sampai ke sana kita harus melewati jalan tambang batu bara. Terus masuk perkebunan karet dan sawit. Tak ada perkampungan di kiri kanannya. Di perjalanan nyaris tidak ketemu orang, kecuali sesekali berpapasan dengan mobil angkutan tambang, sawit dan karet. Betul-betul terisolir. Jadi, wajarlah ketika tiba-tiba ada kehendak untuk makar.
Eh, maaf, jangan salah paham dulu. Kalau orang mau makar, tentu penyampaiannya akan sangar. Ini, tidak! Pertanyaan itu disampaikan secara santai. Sepertinya tidak ada beban sama sekali. Sama sekali tidak ada kekhawatiran bahwa urusannya bisa sampai ke polisi. Bukankah urusan makar merupakan salah satu jenis kejahatan yang serius terhadap negara?
Untungnya kebingungan kami tidak berlangsung lama. Tiba-tiba si ketua adat menyadari kesalahannya. Beliau pun lalu meralat pertanyaannya, bukan makar, tetapi mekar. Maksusnya pemekaran desa. Hanya keseleo lidah karena dialek setempat yang susah mengucapkan vokal e, hehe.
Jadi, jelas bukan mau melakukan sesuatu yang melanggar hukum, tetapi minta agar kampungnya bisa dimekarkan menjadi desa tersendiri. Dan, nampaknya itu wajar dan pantas diperjuangkan.
Akan tetapi, bukan tentang bagaimana kampung itu kemudian bisa dimekarkan menjadi desa tersendiri, terlepas dari desa induknya, yang ingin saya ceritakan. Saya justru ingin melihatnya dalam perspektif yang lebih luas.
Kondisi objektif kampung itu bagi saya seakan miniatur pulau Papua yang beberapa waktu lalu dimekarkan menjadi beberapa provinsi. Dari dua provinsi menjadi lima provinsi. Dengan demikian, dulu Indonesia 34 provinsi, kini sudah menjadi 37 provinsi.
Kampung itu terisolir. Jauh dari pusat pemerintahan desa. Infrastruktur jalan dan jembatan cukup memprihatikan, beda jauh dengan bagian desa lainnya. Daerah pegunungan. Penduduknya jarang. Namun, kaya dengan sumber daya alam. Sayangnya pengusahaan sumber daya alam itu banyak dilakukan oleh orang atau perusahaan luar. Sungguh mirip dengan kondisi di Papua.
Dengan demikian kalau masyarakat di kampung itu ingin punya desa sendiri tentulah sangat wajar. Ada harapan besar bahwa dengan menjadi desa sendiri, kampung itu akan cepat maju. Pembangunannya tidak lagi tergantung dengan desa induknya.
Mereka sudah bisa mengatur dirinya sendiri. Dana desa yang dikucurkan oleh pemerintah pusat tentu akan dapat dimanfaatkan secara maksimal. Kalau berurusan, tidak perlu ke kantor desa yang letaknya sangat jauh.
Dari jauh, dari pulau Kalimantan, saya memandang masyarakat Papua tentu punya harapan dan pandangan demikian juga. Tentu mereka sangat senang dengan pemekaran itu dengan penambahan tiga provinsi baru itu. Namun, apa yang terjadi di Papua? Ternyata tidak semua orang bisa menerima pemekaran itu.
Sebagian menganggap karena proses penetapannya tidak prosedural, lebih merupakan keinginan pusat tanpa mendengarkan aspirasi masyarakat asli papua. Ada kekhawatiran bahwa masyarakat asli akan semakin termarjinalkan.
Ada kecurigaan bahwa ada maksud jahat, entah itu kepentingan politik, eksploitasi sumber daya, atau kontrol keamanan. (Baca selengkapnya di artikel "Pemekaran Papua: Ambisi Jakarta yang Ditolak Warga" ).
Sebagai sesama anak bangsa, tentu saya percaya pemerintah tidak punya maksud jahat itu. Namun, tidak salahnya keberatan masyarakat asli Papua perlu dicermati juga. Harus ada langkah yang bijak agar maksud baik pemerintah bisa dipahami.
Pemerintah harus bisa membuktikan bahwa kecurigaan orang asli Papua hanya kesalahpahaman saja. Pemekaran daerah betul-betul untuk membangun Papua. Untuk mensejahterakan masyarakatnya, khususnya masyarakat asli di sana. Jangan sampai maksud baik pemerintah itu dimanfaatkan secara tidak bertanggungjawab oleh pihak-pihak tertentu yang punya kepentingan lain di sana.
Mereka yang mendukung pemekaran, tentu berharap dengannya daerah Papua akan berkembang. Mereka yang menolak, jangan serta merta dianggap membangkang, apalagi dianggap melakukan makar.
Cukup payah sudah negeri ini bertikai, sementara pandemi corona belum juga usai. Mari persatuan dan kesatuan terus kita bangun dan rangkai. Indonesia adalah kita. Kita adalah Indonesia. Bersatu kita teguh. Bercerai kita runtuh.
Banjarmasin, 22/11/2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H