Mohon tunggu...
taufik hidayat
taufik hidayat Mohon Tunggu... Lainnya - Aktivis politik dan penggiat pendidikan

Pernah menjadi anggota DPRD Kota Banjarmasin periode 1997-1999, 1999-2004 dan ketua DPRD Kota Banjarmasin periode 2004-2009. Sekarang aktif sebagai ketua BPPMNU (Badan Pelaksana Pendidikan Ma'arif NU) Kota Banjarmasin dan ketua Yayasan Pendidikan Islam SMIP 1946 Banjarmasin

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mekar dan Makar

22 November 2022   21:05 Diperbarui: 22 November 2022   21:20 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Akan tetapi, bukan tentang bagaimana kampung itu kemudian bisa dimekarkan menjadi desa tersendiri, terlepas dari desa induknya, yang ingin saya ceritakan. Saya justru ingin melihatnya dalam perspektif yang lebih luas.

Kondisi objektif kampung itu bagi saya seakan miniatur pulau Papua yang beberapa waktu lalu dimekarkan menjadi beberapa provinsi. Dari dua provinsi menjadi lima provinsi. Dengan demikian, dulu Indonesia 34 provinsi, kini sudah menjadi 37 provinsi.

Kampung itu terisolir. Jauh dari pusat pemerintahan desa. Infrastruktur jalan dan jembatan cukup memprihatikan, beda jauh dengan bagian desa lainnya. Daerah pegunungan. Penduduknya jarang. Namun, kaya dengan sumber daya alam. Sayangnya pengusahaan sumber daya alam itu banyak dilakukan oleh orang atau perusahaan luar. Sungguh mirip dengan kondisi di Papua.

Dengan demikian kalau masyarakat di kampung itu ingin punya desa sendiri tentulah sangat wajar. Ada harapan besar bahwa dengan menjadi desa sendiri, kampung itu akan cepat maju. Pembangunannya tidak lagi tergantung dengan desa induknya. 

Mereka sudah bisa mengatur dirinya sendiri. Dana desa yang dikucurkan oleh pemerintah pusat tentu akan dapat dimanfaatkan secara maksimal. Kalau berurusan, tidak perlu ke kantor desa yang letaknya sangat jauh.

Dari jauh, dari pulau Kalimantan, saya memandang masyarakat Papua tentu punya harapan dan pandangan demikian juga. Tentu mereka sangat senang dengan pemekaran itu dengan penambahan tiga provinsi baru itu. Namun, apa yang terjadi di Papua? Ternyata tidak semua orang bisa menerima pemekaran itu.

Sebagian menganggap karena proses penetapannya tidak prosedural, lebih merupakan keinginan pusat tanpa mendengarkan aspirasi masyarakat asli papua. Ada kekhawatiran bahwa masyarakat asli akan semakin termarjinalkan. 

Ada kecurigaan bahwa ada maksud jahat, entah itu kepentingan politik, eksploitasi sumber daya, atau kontrol keamanan. (Baca selengkapnya di artikel "Pemekaran Papua: Ambisi Jakarta yang Ditolak Warga" ).

Sebagai sesama anak bangsa, tentu saya percaya pemerintah tidak punya maksud jahat itu. Namun, tidak salahnya keberatan masyarakat asli Papua perlu dicermati juga. Harus ada langkah yang bijak agar maksud baik pemerintah bisa dipahami. 

Pemerintah harus bisa membuktikan bahwa kecurigaan orang asli Papua hanya kesalahpahaman saja. Pemekaran daerah betul-betul untuk membangun Papua. Untuk mensejahterakan masyarakatnya, khususnya masyarakat asli di sana. Jangan sampai maksud baik pemerintah itu dimanfaatkan secara tidak bertanggungjawab oleh pihak-pihak tertentu yang punya kepentingan lain di sana.

Mereka yang mendukung pemekaran, tentu berharap dengannya daerah Papua akan berkembang. Mereka yang menolak, jangan serta merta dianggap membangkang, apalagi dianggap melakukan makar. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun