Apa yang terjadi? Ternyata tidak ada penjagaan apapun masuk kawasan itu. Bisa jadi memang hanya di markas komunitas da’wah  itu saja yang dijaga, sementara di sekitarnya tidak, termasuk di sekitar rumah duka. Tidak ada seorang aparat keamanan ataupun satpol pp yang terlihat berjaga-jaga. Demikian juga tidak ada tanda-tanda apapun yang menunjukkan bahwa daerah itu ada zona merah.
Untuk mengurangi resiko, aku kesana berangkat menjelang sholat Juhur, karena sholat jenazah diselenggarakan sesaat sebelum sholat Juhur dilaksanakan. Dengan demikian tidak banyak waktu untuk berada disana, guna mengurangi pertemuan dengan banyak orang.
Alhamdulillah, di mesjid pelaksanaan sholat cukup tertib jaga jaraknya. Sayangnya, momentum orang banyak terkumpul itu tidak dimanfaatkan oleh gugus tugas covid untuk memberikan edukasi. Semua berjalan hanya berdasarkan kesadaran masing-masing. Sayangnya, sekali lagi, harusnya momentum seperti ini betul-betul bisa dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang berkompeten untuk memberikan penerangan kepada masyarakat sehingga kesadaran tentang bahaya covid dan antisipasinya bisa tumbuh merata.
Selesai sholat aku mengikuti rombongan berangkat ke alkah masyarakat setempat di daerah Pematang Gambut, sekitar 15 km dari Banjarmasin.  Artnya rombongan ke luar kota Banjarmasin. Terbayang pasti akan ada kesulitan yang terjadi, karena saat itu lagi PSBB. Tetapi apa yang terjadi? Ternyata rombongan mulus ke luar batas kota, padahal di batas kota Posko  PSSB terlihat indah.
Pikirku bisa jadi untuk keluar memang tidak ada pemeriksaan apa-apa, masuknya ke dalam kota yang mungkin ketat. Sambil jalan mata melirik kesebelah kanan, eh ternyata tidak ada pemeriksaan apa-apa juga. Â
Akhir cerita sampailah aku ke lokasi penguburan dan semuanya berjalan lancar. Pulangnya aku jalan sendiri masuk melalui jalan utama ke kota Banjarmasin, ingin melihat bagaimana kondisi penjagaan masuk kota lewat jalan utama.
Namun, tiba-tiba muncul perasaan khawatir, kalau-kalau ada masalah saat pemeriksaan di batas kota utama ini. Soalnya aku kan habis melayat di daerah zona merah, kemudian ikut penguburan jenazah yang berasal dari kawasan zona merah. Ada kekhawatiran kalau  karena sebab itu, aku harus menjalani karantina 14 hari. Ih, ngeri, sulit membayangkan kalau itu terjadi, setidaknya selama 14 hari aku tidak bisa melakukan apa-apa, sementara urusanku di luar lagi sedang banyak-banyaknya.
Aku pun kemudian belok kanan, mencari jalan tembus untuk masuk kota Banjarmasin, Ternyata mulus saja, tidak ada hambatan apa-apa. Seharusnya kalau PSBB dilaksanakan secara ketat, semua jalan tembus harus juga ditutup rapat, tidak hanya jalan utama. Jalan utama saja ternyata tidak ketat, apalagi jalan tembus.Dari pengalaman diatas, aku menyimpulkan bahwa saat ketat PSBB saja dengan status merah membara, eh, maksudnya merah semua, Â kesadaran masyarakat dan langkah-langkah yang diambil pemerintah masih lemah, apalagi sekarang kalau sudah berada dalam status zona hijau, atau sudah tidak merah lagi, bisa jadi semuanya akan semakin lengah. Protokal kesehatan bisa semakin diabaikan, dan tidak mustahil status zona merah akan kembali berulang.
Okelah Banjarmasin tidak lagi berzona merah, tetapi kita semua, baik pemerintah maupun masyarakat tidak boleh lengah. Jangan sampai prestasi yang telah berhasil dengan susah payah itu hilang dalam sekejap mata. Apalagi ini musim pilkada, semua harus semakin waspada. Corona boleh sebentar pergi, tetapi jangan pernah beranggapan bahwa ia tidak mungkin kembali menyerang lagi.
Waspadalah! Waspadalah! Tidak lagi zona merah, kita tak boleh lengah!
Bjm, 7/10/2020