Bicara mengenai kekuasaan dalam pemerintahan Demokrasi tak ayal bahwa kita akan kerap mendengar istilah /oposisi/ atau /oposan/. Istilah ini berkembang dalam pemanfaatannya sebagai kata khusus yang melekat bagi pihak atau partai politik yang akan berseberangan dengan pemerintah. Lantas seberapa pentingnya oposisi dan bagaimana pemenang pemilu merawat persatuan dalam membangun bangsa dengan melibatkan pihak yang kalah?
Sebagaimana kita ketahui, kemenangan pasangan nomor urut 02, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka telah tampak nyata meski dicederai dengan berbagai polemik, mau tidak mau, suka tidak suka, mereka sepertinya akan menjadi pemenang pemilu sehingga wacana oposisi atau oposan mencuat jauh sebelum pemerintahan baru terbentuk.
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) misalnya, sebagai partai pemenang pemilu 2024, sikap tegas PDIP dinantikan pula oleh publik. Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto (15/2/2024) menyebut partainya siap berada di luar pemerintahan jika mereka dinyatakan benar-benar kalah dalam pemilu saat dimana mereka mengusung Ganjar/Mahfud. Kendati demikian, ia menuturkan tidak serta merta menyebut diri sebagai partai oposisi dikarenakan PDIP akan tetap mendukung program pemerintah yang baik dan pro-rakyat serta akan menentang bila ada program yang memberatkan masyarakat.
Partai-partai yang telah mulai menerima fakta hasil Pemilu mulai menemukan kembali jati diri mereka. Ternyata haus kuasa masih kental teori dan praktiknya. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) misalnya, yang awalnya mengusung pasangan 03, Ganjar/Mahfud kini mulai menggeliat untuk merapatkan barisan kepada pemenang pemilu. Ini tidak jauh dari politik pragmatis apalagi partai tersebut masih belum dapat dipastikan masuk Parlemen atau tidak. Hal seirama juga tampak akan dilakoni Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Nasdem yang memang tidak memiliki DNA oposisi. Keduanya yang mendukung paslon 01 seolah tidak akan jauh dari politik praktis demi eksistensi partainya jika dapat duduk di pemerintahan berjalan.
Oposisi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) bermakna partai penentang di dewan perwakilan dan sebagainya yang menentang dan mengkritik pendapat atau kebijaksanaan politik golongan yang berkuasa. Hal ini membuat kita tidak jelas dalam menyikapi label oposisi di pemerintahan Indonesia selama ini. Oposisi tidak dapat dipastikan selalu menentang kebijakan pemerintah atau menentang secara parsial (sebagian).
Bertalian dengan keterangan Hasto Kristiyanto adalah benar jika oposisi tidak benar-benar mutlak ada dalam pemerintahan di negara kita. Sikap bertentangan (oposan) bisa terjadi bilamana ada wacana atau program yang diasumsikan dapat merugikan masyarakat. Dengan demikian, semua partai sah-sah saja menjadi penentang kebijakan yang akan diambil kelak baik yang bergabung dalam kekuasaan atau tidak.
Namun begitu, sejatinya, oposisi tetap diperlukan dalam berlangsungnya suatu pemerintahan demokratis agar menjadi obat penambah kekuatan dan sebagai tombol penyeimbang. Sehaluan dengan itu, pihak pemenang pemilihan presiden (pilpres) tidak harus bersikap jumawa, koalisi yang menang seyogjanya merangkul pihak-pihak lain agar dukungan kepada pemerintah semakin kuat dan solid. Sikap-sikap seperti inilah yang akan kita lihat perkembangannya ke depan untuk Indonesia yang lebih baik.
***