Mohon tunggu...
TAUFIK HIDAYAT
TAUFIK HIDAYAT Mohon Tunggu... Guru - Love, Bless and Dreams Comes True ❣️

Guru di MA Al-Azhar Asy-Syarif Sumatera Utara. Terima kasih yang sudah vote dan kasih komentar. Salam Kompasiana.

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Kenapa Golput Itu Haram?

19 Desember 2023   04:51 Diperbarui: 19 Desember 2023   19:01 299
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Golput haruskah mereka dijatuhi dosa? (Foto ANTARA FOTO) 

Baru-baru ini saya menyimak ragam warta menyoal golput. Istilah ini kerap muncul jika pemilu tiba. Istilah rupanya ada sebelum saya lahir. Diksi golput muncul dari sesaknya dada para aktivis pro-demokrasi tahun 1971 - dimana ketika itu Soeharto menjadi presidennya. 

Golongan Putih atau Golput kemudian membumi dan terendors ke penjuru tanah air. Dalam Statistik Politik 2014, Badan Pusat Statistik (BPS) mengartikan golput dengan kelompok pemilik yang tidak menggunakan hak pilih

Belakangan, Ketua MUI Bidang Dakwah dan Ukhuwah, Choel Hafiz menyerukan larangan untuk golput. Ia menyuarakan kembali keputusan Ijtimak Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia III tentang Masa'il Asasiyah Wathaniyah atau Masalah Strategis Kebangsaan 2009 silam di akun X @cholilnafis, Sabtu (16/12/2023). 

Jika golput adalah haram artinya pelaku golput akan mendapatkan dosa sedangkan memilih untuk mencoblos atau ikut pemilu mendapatkan pahala. Setidaknya itu pemahaman yang saya dapat didekatkan dengan ilmu fiqih. 

Bertalian dengan itu ternyata negara juga menjelaskan bahaya dari golput ini. Pasal 515 UU Pemilu disebutkan bahwa orang yang menjanjikan atau memberikan uang atau materi kepada orang lain agar menjadi golput maka akan dipenjara selama tiga tahun dengan denda sebesar Rp 36 juta. 

Lantas bagaimana dengan pihak yang menghasut orang lain untuk golput tapi tanpa materi atau uang? Apakah kemudian delik hukum ini tidak berlaku? Saya ingin menarik betapa elastisnya produk undang-undang ini. 

Begini. Alasan orang memilih golput ternyata bisa bermacam-macam. Alangkah kerasnya fatwa tersebut jika MUI melabeli mereka yang golput sebagai masuk perbuatan haram lantas menanggung dosa.

Baca juga: Hujan yang Sebentar

LSI (Lembaga Survei Indonesia) pada tahun 2019 misalnya mengatakan selain karena pertimbangan politis dan ideologis ternyata ada banyak orang yang tergolputisasi karena masalah teknis dan administrasi yang terjadi. 

Saya pribadi misalnya pernah mengalami ini. Saya tergolputisasi karena tidak bisa menggunakan KTP bila mencoblos di pagi hari. Panitia mengatakan harus menggunakan hak suara setelah pukul 13.00 WIB. Saya tidak bisa untuk menunggu karena ada hal mendesak yang tidak bisa saya tinggalkan. Akhirnya suara saya hangus dan masuk sebagai angka golput 18,03 persen di tahun 2019 secara nasional. 

(Infografis : CNN Indonesia) 
(Infografis : CNN Indonesia) 

Ada banyak orang tergolputisasi karena keadaan. Sakit keras, pindah domisili dan ribet untuk mengurus administrasinya, ada alasan sedang bekerja, lebih memilih bekerja atau keadaan mendesak lainnya sehingga tidak bisa memilih di hari pemungutan suara. Suara-suara ini tentu tidak adil jika dicap kegiatan haram. 

Dalam hemat saya golput merupakan bagian dari demokrasi itu sendiri. Wah, wah, agak frontal bahasan saya. Sejatinya golput adalah cerminan bahwa ada sesuatu yang terjadi. Disebutkan di atas bahwa alasan ideologis dan politis mungkin kental sebagai penyebab mereka memilih untuk tidak memilih. 

Ini semacam kritikan bagi semua pihak. Bahwa ada hal yang harus dikoreksi dari dalam penyelenggara pemilu, peserta pemilu atau bahkan pemenang pemilu tersebut. Ada pihak-pihak yang merasa tidak terakomodir kepentingannya. Mereka boleh jadi warga yang lebih kritis kepada pemerintah dibandingkan pihak oposan. 

Pihak yang golput atau tergolputisasi boleh jadi tetap cinta pada negara ini dan menyukai demokrasi yang telah dibangun. Mereka adalah bagian dari negara yang tidak boleh dimarginalkan. Mereka adalah sebuah keniscayaan baik sengaja ataupun tidak sengaja. Alamak, semoga saya tidak ditegur KPU karena tulisan dan buah pikiran saya ini. 

Pembaca Kompasiana mungkin boleh berpikiran lain. Silakan. Namun kita bisa ambil contoh misalnya, di negara demokratis nomor satu dunia, Amerika Serikat. Angka golput terjadi hingga menyentuh 131 juta di tahun 2016 manakala Donald Trump terpilih sebagai presiden (Liputan 6).

Dalam praktik yang nyaris sama juga kerap kita saksikan pada pemilihan suara di United Nations atau Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York. Disana disediakan opsi untuk setuju, tidak setuju dan abstain.

Jadi berangkat dari hal tersebut, maka tidak semua pihak bisa dikondisikan untuk tidak golput atau sebaliknya. Satu suara baik pemberi suara atau golput adalah suara rakyat juga. Mereka seharusnya tidak diimbuhi dosa jika tidak bisa atau tidak mau ke bilik suara. 

Medan, 19 Desember 2023

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun