Tidak terasa, akhir Januari datang juga. Seolah baru kemarin kita bakar-bakar apa yang bisa kita bakar. Berkumpul bersama-sama diiringi kembang api orang-orang yang membakar uangnya. Baru saja, aroma ikan bakar, ayam bakar ada di depan kita. Kini sudah habis saja Januari itu.
Waktu seolah tidak terhentikan. Ia tidak berkompromi untuk terus maju. Tidak ada yang mencegahnya maju. Oleh karenanya hari ini patut disyukuri - apa yang ada jadikan semua sebagai anugerah bukan beban dan hambatan untuk bahagia. Karena waktu terus berjalan, detik akan menjadi menit lalu jam berubah hari, lalu tiba-tiba minggu dan bulan digantikan tahun.
Menulis di Kompasiana menjadi sejarah perjalanan itu. Menempelkan kisah saya, juga apa yang saya cinta, yang ingin saya tulis dan yang mau saya bagikan. Berbagi informasi bersama itu menyenangkan, tidak terasa sudah berganti bulan. Banyak sajian lezat yang bisa didapat dalam narablog ini.
Teman menulis, tidak seperti teman bicara. Teman menulis mengingat dan mencatat yang terjadi dan rancangan akal pikiran dalam tulisan. Bukan perkara mudah untuk melakukan tulis menulis ini. Sebab menurut hemat saya, menulis adalah keterampilan yang kompleks daripada hanya sekedar berbicara.
Kompasiana merangkum waktu itu, perjalanan atlet badminton Indonesia yang saya sukai karena ibu saya. Karena keterpaksaan. Karena ibu menontonnya di hari Minggu. Di hari puncak turnamen badminton dunia. Di hari dimana saya harusnya menonton film kartun ketika sama masih Sekolah Dasar.
Setelah memperhatikan tanpa bisa mengganti program acara, mau tidak mau memperhatikan gerak-gerik orang yang sibuk memukul-mukul bola. Menampar kesana-kemari. Lalu minum. Lalu jatuh. Lalu terbaring. Lalu bicara pada pelatih. Lalu iklan. Lalu tanding. Lalu ada teriakan penonton. Lalu ada podium. Ada bendera. Ada lagu kebangsaan. Ada hadiah. Ada berita. Semua berputar satu persatu. Hingga saya mengerti dan perlahan jatuh hati.
Sayang ketika Indonesia kembali menjuarai Piala Thomas 2020, Ibu sudah meninggalkan saya 3 kali Olimpiade. Ibu Indonesia masih bisa juara. Ibu ternyata ini rasanya menjadi pecinta gila bulutangkis. Hahaha. Benar-benar gila. Addict. Ibu pernah bilang orang zaman dahulu rela berpuasa bila Indonesia hendak tanding, nonton satu kampung dengan hanya satu televisi. Lalu rela membeli surat kabar yang beritanya begitu menyejukkan dada.
Anakmu ini akhirnya tahu waktulah yang membuat kita bisa mencintai seseorang, suatu hal apapun itu. Terimakasih sudah mengenalkan anakmu ini tentang arti sebuah kebanggaan. Karena Indonesia butuh hal yang membuat bangga bukan perpecahan, korupsi dan kebencian disana-sini.
Bulan Januari dimana engkau pergi untuk selamanya. Semoga taman-taman surga tempat dirimu berada. Dimana bunga-bunga yang kau pelihara dahulu hendak mencari kasih kepada tuannya. Al-Fatihah.