Nasabah gagal bayar (galbay) pinjaman online tentu sangat khawatir dengan kehadiran debt collector (DC) di tempatnya.
Mengapa demikian? Karena sebagian DC sombong dalam menagih utang, hal ini membuat nasabah tidak mau menerima kedatangannya.
Padahal, jika semuanya diterima dengan kepala dingin, baik nasabah maupun debt collector Pinjol tidak akan mengeluh.
Tak kalah pentingnya, banyak masyarakat di Indonesia yang memanfaatkan pinjol untuk bertahan hidup.
Ya, kehadiran industri fintech dalam menyediakan produk keuangan berbasis digital rupanya membuka peluang baru bagi individu yang ingin mengajukan pinjaman.
Berbeda dengan layanan pinjaman konvensional yang disediakan oleh bank atau koperasi, berbagai fintech menawarkan produk peer to peer loan (P2P Lending) atau pinjaman online yang dapat diajukan dengan mudah dan tanpa syarat rumit.
Karena kemudahan dan kecepatannya, fintech semakin populer di kalangan generasi milenial dan diperkirakan akan terus berkembang.
Hanya dengan menunjukkan dokumen pribadi seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP), Kartu Keluarga (KK), Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), dan slip gaji, siapa pun bisa menjadi pengguna pinjaman online untuk menyelesaikan berbagai permasalahan keuangan.
Padahal, mulai dari pengajuan hingga pencairan dana ke nasabah, fintech hanya membutuhkan waktu kurang dari 24 jam.
Keunggulan tersebut membuat produk keuangan tersebut dengan cepat populer dan semakin diminati oleh masyarakat dari segala kalangan.
Namun sayangnya, meski kemudahan dan kenyamanan yang ditawarkan, banyak orang yang kurang bijak dalam menggunakan produk pinjaman online tersebut.
Padahal, jika dibandingkan dengan pinjaman konvensional, pinjaman online memiliki suku bunga lebih tinggi dan jangka waktu cicilan lebih pendek.
Pada pinjaman online, biaya administrasi seringkali tidak transparan. Akibatnya, pelanggan berisiko harus membayar lebih dari yang disepakati semula.
Selain itu, pelanggan juga dapat dikenakan biaya keterlambatan dan denda yang tidak wajar.
Kehadiran pinjaman online menjadi kontroversi karena rendahnya literasi keuangan masyarakat Indonesia.
Hal ini tentunya beresiko membuat debitur pinjaman online terjebak dalam jebakan utang yang begitu berat hingga tidak mampu membayar cicilan.
Pemberian data pribadi dalam pinjaman online memudahkan nasabah untuk dikejar utangnya.
Debt collector menebar ancaman mulai dari ke pengadilan, penjara, hingga siap dipecat dari pekerjaannya.
Tak hanya itu, beberapa netizen lain menyoroti fintech pinjaman online yang mampu membaca data di ponsel nasabah.
Terkadang kita disarankan untuk berhati-hati dalam menggunakan pinjaman online. Sebab, meskipun kita mengajukan pinjaman, belum tentu permohonan kita disetujui, namun data diri kita sudah didapatkan oleh pihak pemberi pinjaman.
Selain itu, pinjaman online juga dinilai merugikan konsumen. Misalnya kita hanya bisa mengajukan pinjaman sebesar Rp 1 juta hingga Rp 2 juta, namun pihak pemberi pinjaman online bisa mendapatkan semua data diri kita yang nilainya lebih dari jumlah pinjaman yang diajukan.
Dalam video di akun TikTok yang menggunakan nama pengguna @kangpensi_ dijelaskan, tindakan ceroboh dalam mempublikasikan data pribadi bisa terancam hukuman penjara hingga 9 tahun.
Selain itu, pelanggar juga akan didenda dengan jumlah fantastis sebesar Rp. 3 miliar
Undang-undang ini sesuai dengan ketentuan pasal 32 ayat 2 dan pasal 48 ayat 2 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Dilansir dari Kompas.com, data pribadi mengacu pada informasi spesifik tentang seseorang yang disimpan, dihormati integritasnya, dan dilindungi kerahasiaannya.
Salah satu peraturan hukum yang mengatur mengenai penyebaran data pribadi adalah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan yang telah diubah melalui Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013.
Menurut undang-undang ini, setiap orang dilarang mempublikasikan data pribadi tanpa izin.
Mereka yang mempublikasikan data demografi dan pribadi tanpa izin dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan/atau denda paling banyak Rp 25 juta.p
Jika transmisi data pribadi dilakukan melalui internet atau media elektronik lainnya, pelakunya dapat dijerat dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016.
Pelaku penyebaran data pribadi bisa dituntut berdasarkan Pasal 32 dan Pasal 48 UU ITE.
Ancaman hukuman berat menanti pelanggar yang mempublikasikan data pribadi, yakni pidana penjara paling lama delapan hingga sepuluh tahun dan/atau denda paling banyak Rp 2 miliar hingga Rp 5 miliar.
Ketentuan lebih lanjut mengenai perlindungan data pribadi dapat dilihat pada UU No 27 tahun 2022
Undang-undang ini merupakan peraturan hukum terbaru tentang perlindungan data pribadi dan disahkan pada 17 Oktober 2022.
Berdasarkan Pasal 67, barang siapa dengan sengaja melanggar hukum dengan mengungkapkan data pribadi yang bukan miliknya, dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama empat tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 4 miliar.
Sedangkan siapa pun yang dengan sengaja dan melawan hukum menggunakan data pribadi yang bukan miliknya dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5 miliar.
Referensi:
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan yang telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE)
UU Nomor 19 Tahun 2016 UU Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi.
Berikut penjelasan mengenai sanksi bagi yang membagikan data pribadi. Saya harap artikel ini bermanfaat. LBH-HIDAYAH
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H