SINOPSIS
Pendidikan adalah tema yang menarik untuk diangkat menjadi cerita, bahkan berpotensi memberikan inspirasi dan motivasi bagi kalangan pemuda, khususnya para peserta didik dan mereka yang putus sekolah, dalam cerita yang berjudul "KIP-Kuliah Untuk Yang Putus Sekolah." Penulis telah menceritakan pengalaman pribadinya dalam menempuh Pendidikan.
Sebagai anak bungsu dari tujuh bersaudara, pemuda yang memiliki nama lengkap Taufik Hidayat itu, lahir dan dibesarkan disebuah desa di Kabupaten Lampung Tengah, dimana saat itu kualitas Pendidikan disana masih sangat rendah, bahkan mayoritas masyarakatnya beranggapan bahwa Pendidikan tidaklah penting, dan salah satu bukti nyatanya adalah ke-enam saudaranya hanya menamatkan Sekolah Dasar (SD), bahkan sebelum nekat untuk melanjutkan Pendidikan pun ia sama seperti ke-enam saudaranya.
Hingga suatu ketika ia putuskan untuk melanjutkan Pendidikan, tidak peduli serendah apapun kondisi ekonomi keluarga, dah sudah berapa lama ia putus sekolah. Dihadapkan dengan berbagai rintangan pun tidak sedikitpun membuat semangatnya padam. Sekarang ia adalah mahasiswa aktif program studi pendidikan Bahasa Arab, Fakultas Tarbiyah Dan Keguruan, UIN sulthan Thaha Saifuddin Jambi. Bagaimana Taufik bisa berhasil sampai di bangku perkuliahan dan mendapatkan beasiswa KIP-Kuliah? Dan kesulitan seperti apa yang berhasil dilalui? Baca selengkapnya cerita inspiratif yang berjudulÂ
"KIP-Kuliah Untuk yang Putus Sekolah"Â
KIP-KULIAH UNTUK YANG PUTUS SEKOLAH
Bagi sebagian besar anak muda yang sudah memasuki usia dua puluh tahun mungkin cenderung tidak memikirkan pendidikan dan biasanya lebih memilih fokus pada karir, mulai mencari pasangan hidup, apalagi mereka yang memang sudah putus sekolah sejak menamatkan sekolah dasar, terlebih lagi mereka yang memiliki latar belakang ekonomi keluarga di bawah rata-rata atau bisa dikatakan tidak mampu. Tetapi tidak bagi pemuda desa yang memiliki nama lengkap Taufik Hidayat, dari sebuah desa di kabupaten Lampung Tengah. Meskipun lahir di keluarga yang kurang mampu dan mengalami putus sekolah, semangat dan tekatnya untuk menempuh pendidikan yang lebih tinggi tidak pernah padam.
Taufik adalah anak bungsu dari tujuh bersaudara yang ke-enam saudaranya hanya menamatkan Sekolah Dasar (SD) dikarenakan kedua orang tuanya tidak memiliki cukup uang untuk membiayai mereka melanjutkan pendidikan. Awalnya ia juga sama dengan ke-enam saudaranya, dan tidak hanya hidup di lingkungan keluarga yang minim pendidikan, namun juga lingkungan masyarakat desa yang mayoritas penduduknya beranggapan bahwa demi keberlangsungan hidup tidak ada yang lebih penting dari uang, oleh karena itu pendidikan di tempat ia lahir dan dibesarkan boleh dikatakan masih sangat rendah.
Sampai suatu ketika semangatnya tergugah untuk menempuh pendidikan yang lebih tinggi saat usianya sudah kepala dua atau sama dengan mahasiswa semester empat, sementara itu, ia baru memiliki ijazah Sekolah Dasar (SD). Namun hal itu tidak sedikit pun menyurutkan semangat dan tekatnya untuk menempuh pendidikan yang lebih tinggi. Akhirnya ia putuskan mengikuti ujian paket B, kemudian ia melanjutkan Sekolah Menengah Atas (SMA), namun saat akan mengakhiri kelas 11 ia kembali dihadapkan dengan cobaan yang berat; ayah sebagai tulang punggung keluarga telah meninggal dunia, hal itu membuatnya mengurung diri selama satu bulan, dan hampir genap dua bulan tidak masuk sekolah, hingga akhirnya ia melanjutkan sekolahnya setelah mendapat nasihat dan arahan dari pak yai.
Setelah ia menyelesaikan pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA). Kemudian ia mendapatkan tawaran untuk kuliah dengan biaya yang rendah dari kepala yayasan, tentu ia segera memutuskan untuk menerima tawaran itu, sayangnya lokasi kampus sangat jauh dari rumahnya, sehingga orang tua yang hanya tersisa seorang ibu saja tidak memberikan doa dan restunya.
"Bu, Taufik minta doa restu dari ibu, Taufik mau kuliah ke tanah Jawa" ucapnya dengan nada lembut penuh hormat, seraya menundukkan kepala. "Jawa itu gak dekat, nak. Ongkos untuk kesana saja kita tidak punya" balas ibunya penuh kasih sayang dan perhatian. Sebenarnya memang bukan hanya karena lokasi kampus yang sangat jauh, melainkan karena ibunya juga takut tidak bisa memenuhi kebutuhan kuliahnya. Sebagai seorang anak tentu ia tidak ingin membangkang, walaupun dalam hatinya tetap saja jika kecewa, meskipun demikian ia tidak marah apalagi membenci ibunya, ia merasa bahwa bagaimanapun juga orang tua tetap ingin yang terbaik untuk anaknya. "Nak, kamu pergi ke Jambi saja, ikut abangmu jualan mie ayam" sambung ibunya, dengan suara yang sedikit meminta agar anaknya mau mengerti dan memahami keadaan ekonomi keluarga.