Saya rasa banyak dari kita umat islam yang akan tersinggung mendengar stand up comedy-nya Pandji Pragiwaksono ketika ia menyinggung tentang khatib-khatib di Indonesia yang menurutnya bisa dibagi ke dalam 2 jenis; Pertama, khatib yang suaranya lantang seakan-akan tidak sadar kalau ia memegang michrophone. Khatib jenis ini lanjut Pandji adalah tipe khatib yang suka menakut-nakuti, dengan ancaman neraka misalnya. Lalu yang kedua, khatib yang membuat suasana lucu dan ceria. Dan bahkan bisa membuat kita menangis dengan suaranya yang sendu sewaktu memanjatkan doa.
Bagi orang yang hanya menangkap bahasa semata, stand up Pandji bisa jadi terdengar seperti melecehkan khatib yang amat mulia itu, apalagi kalau kita melihat langsung video stand up-nya. Bisa-bisa kita akan men-judge Pandji sebagai muslim yang melecehkan saudaranya sendiri.
Tapi saya ingin mengajak kita semua untuk bersama-sama, hanyut dalam suasana Jumatan tanpa mengantuk atau mencari sandaran tiang, hehe. Lalu mari kita dengarkan khatib kita dengan seksama, runut dari awal salam sampai sang khatib menutup khutbahnya. Kalau kita mau jujur, khatib seperti yang dibicarakan Pandji memang banyak sekali di masjid-masjid kita. Yang aksen khutbahnya tidak menarik. Yang berkhutbah seperti membacakan suatu pengumuman. Yang dalam seloroh sebuah buku yang pernah saya baca; orang yang susah tidur, insyaAllah langsung bisa pulas ketika hadir Jumatan sambil mendengarkan khutbah.
Masya Allah. Ya walaupun dengan sadar saya dan beberapa dari kita pun—mungkin–ketika diminta berkhutbah jauh lebih tidak menarik dari pada khatib-khatib yang saya sebut tadi. Kita membawakannya dengan datar, bahkan gemetaran tiada karuan dan tata bahasanya pun melompat-lompat. Ahh.
Jujur menjadi khatib adalah tugas yang mulia menurut saya. Bagaimana tidak, khatib memegang amanah yang berat, yang salah satu di antaranya adalah mewasiatkan takwa pada jamaah yang hadir di majelis shalat Jumat. Disunnahkan bersuara lantang, karena Rasulullah SAW pun bersuara lantang ketika berkhutbah, yang dalam penggambarannya, seolah-olah musuh akan datang mengajak kita berperang. Maka dengarlah komando dengan baik, jangan bercanda apalagi mengantuk!
+++
Kita memang tak harus selalu setuju dengan Pandji dan cara penyampaiannya. Ya walaupun saya tidak menafikkan ia adalah orang yang baik dan mempunyai misi yang banyak mendatangkan manfaat buat orang lain. Setidaknya itu yang saya tangkap ketika membaca bukunya Nasional.is.me (bagi kawan yang belum membaca, buku ini bagus lho isinya…)
Dan harus diakui pula bahwa semakin negara kita berdemokrasi semakin sensi pula masyarakat kita menerima—katakanlah–ekses dari demokrasi itu sendiri, semisal saran, kritikan bahkan hujatan sekalipun.
Lewat tulisan ini saya hanya ingin berbagi tentang banyak pengalaman sensi saya terhadap orang lain, yang sering membuat saya jengkel. Dan mungkin sama seperti yang kawan pernah terima dari orang lain, semisal gaya bicara orang yang terlihat songong, gesture seseorang yang melecehkan dan banyak lagi hal-hal yang sepintas tidak mengenakkan. Namun akhirnya semua itu membawa saya pada suatu titik kesadaran, bahwa setiap orang ternyata mempunyai gaya bahasanya sendiri, karena mereka berasal dari suku dan budaya yang berbeda. Karena mereka tumbuh dari pengalaman dan lingkungan yang berbeda dengan kita.
Kalau kita lebih senang “membaca” bahasa daripada makna, maka hal itulah yang akan terjadi: kita lebih sering sakit hati daripada meraup isi dan manfaat. Bahkan mungkin tertutup dari kesempatan mendapatkan ilmu baru dari orang lain.
Ayo ahh kawan, jangan cepat sensi ya!