Mohon tunggu...
Taufik Hasyim
Taufik Hasyim Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Jurusan Pendidikan Teknik Elektro UNM Makassar. Tertarik pada hal-hal yang berbau politik, pariwisata, adat, sosial kemasyarakatan dan sepakbola.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Hujan

3 April 2015   20:01 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:34 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Mendung masih menggelayut manja di langit kotaku pagi ini. Gerombolan mega hitam masih enggan membuka tirainya bekas hujan deras semalam.
Ku perhatikan jam dinding kamarku..ah..sudah jam 6 pagi rupanya..

Segera ku tarik selimutku, bergegas beranjak dari pembaringan menuju ke kamar mandi. Dengan cekatan, segera ku basuh semua anggota badanku yang wajib untuk berwudhu. Meskipun sering telat, aku termasuk pantang untuk meninggalkan sholat lima waktu.

Ku buka tirai jendela yang sudah mulai usang setelah merapikan alat sholat. Hmm..jalanan masih sepi pikirku. Hanya nampak beberapa orang yang menikmati pagi sambil berlari kecil atau barisan lansia yang tengah senam pagi di taman kecil seberang jalan. Rutinitas yang sama tiap akhir pekan, maklum kompleks tempat tinggalku mayoritas dihuni para pegawai BUMN dan pensiunan karyawan swasta. Termasuk pemilik rumah tempatku menumpang selama kuliah ini, Paman Andi yang juga bekas komisaris perusahaan swasta.

Mmm..baru ingat..pagi ini aku punya janjian. Salah satu teman mengajak nonton pameran seni di dekat kampus. Janjiannya jam 8..ah masih ada sejam ini baru jam 7 pagi ujarku dalam hati. Masih ada waktu untuk bereskan kamar yang berantakan. Dan tentu saja melaksanakan kewajibanku setiap pagi, menyiram tanaman di halaman rumah dan membantu Paman Andi mencuci mobil jeep kesayangannya.

Setengah menit kemudian, semua kewajiban pagi hari beres. Wahh,,bentar lagi jam 8 nihh ku lirik jam dinding di ruang tamu. Sambil berlari kecil saya segera menuju balkon dan menyambar handuk yang dijepit di tali jemuran. Mandi sebentar, saya kemudian mematut-matut diri dengan beberapa pakaian yang cocok depan cermin. Mix and match istilahnya.  Maklumlah, ini acara pameran seni idola anak muda..siapa tau dapat gebetan baru disana ujarku dalam hati sambil senyum-senyum.

"Mau kemana, Rif ? Tumben sepagi ini udah rapi banget!," tanya Paman sambil senyum-senyum curiga penuh selidik
"Eh,,Paman! Mau ke acara teman!," jawabku cepat sambil menstarter motor vespa kesayangan peninggalan mendiang Ayah.
"Teman apa temen ?," goda Paman.
"Ah, Paman! Kayak gak pernah muda aja!," elakku sambil ngeloyor menjauh dengan vespa bututku.

Sambil bersiul kecil, ku kebut Vespa tipe VM2 125 cc produksi tahun 1954 ini. Meski body-nya terlihat butut tapi saya jamin mesinnya masih gahar karena dirawat dengan baik. Sejenak ku tatap awan yang berarak kelabu. Tampaknya langit tak kuat lagi menahan cucuran airmatanya jatuh ke bumi. Benar saja, tak  sampai seperdua perjalanan rinai hujan kompak turun menghujam bumi. Mataku awas memperhatikan sekeliling, mencari tempat berteduh dari hujan.

Dengan cepat ku parkirkan vespaku di depan sebuah toko boneka. Ah, kemejaku sedikit basah. Hujan memang selalu memberiku masalah. Hujan pula yang ku dakwa bersalah telah merenggut kebahagiaan keluarga kecilku. Seandainya saat itu hujan tidak berani turun, aku mungkin tidak akan sebatang kara seperti sekarang. Ayah, Ibu dan adik semata wayangku meninggal dalam kecelakaan tunggal 5 tahun lalu. Mobil yang dikemudikan Ayah terperosok dalam jurang karena hujan deras nan berkabut dalam perjalanan balik dari Puncak. Tak ada yang selamat, tim SAR hanya menemukan bangkai mobil dan 3 jasad keluargaku keesokan paginya. Dan hujan penyebabnya.
Ahh..aku benci hujan..

Sepertinya aku sudah ketinggalan acara pameran nih gerutuku. Gara-gara hujan lagi nich yang tidak bersahabat. Ku intip langit perlahan, tampaknya hujan masih lama reda. Segera ku raih handphoneku, dengan cepat jariku menari lincah, mengetik sebuah sms. Ya..sms permohonan maaf gegara hujan brengsek yang tidak mengizinkan menghadiri pameran seni.

Hujan semakin deras saja, membuat hawa semakin dingin. Ku sandarkan tubuhku di dinding kaca toko sambil terjongkok meringkuk mendekap lutut. Pertahanan sederhana melawan hawa dingin.

"Ayo masuk, Kang! Di luar dingin!"
Sebuah suara halus berasal dari balik kaca pintu masuk toko mengagetkanku.
Ku menoleh ke sumber suara sambil berjalan ke pintu toko model Path Fitting Partisi yang tampak dibuka seorang wanita muda.
"Iya,, makasih banyak, Mbak !," jawabku dengan ramah.
"Silahkan duduk,Kang!," pinta wanita muda tadi sambil menunjuk ke arah sebuah kursi panjang depan meja kasir. Sepertinya dia tengah sibuk menghitung sesuatu.
Ku tatap lamat-lamat wajahnya, sepertinya usianya masih sepantaran denganku. Parasnya lumayan cantik, ku beranikan diri untuk bertanya.
"Mbak pemilik toko ini ya ?,"
"Oh,,bukan,Kang! Ini milik kakak sulungku. Aku cuma bantu kelola keuangan saja,kok !," jawabnya sambil tersenyum ramah.
"Dan jangan panggil mbak dong. Aku masih kuliah semester 5 lho!," protesnya tetap dengan lengkungan senyum indah di bibir mungilnya.
Aku cuma nyengir mendengar jawabannya. Sejurus kemudian suasana menjadi hening. Aku tidak bertanya lagi, si "mbak ramah" terlihat sangat serius mencatat dan menghitung sesuatu.

-------------------------Taufik Hasyim-----------------------

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun