Mohon tunggu...
Taufik Alamsyah
Taufik Alamsyah Mohon Tunggu... Guru - Seorang tenaga pengajar

Mengajar adalah belajar

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Sekolah dan Pembatasan Hak Gawai

21 Januari 2025   15:13 Diperbarui: 21 Januari 2025   15:13 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.medcom.id/

Seiring dengan kemajuan teknologi, gawai telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan kita. Namun, penggunaannya di lingkungan sekolah kerap menimbulkan dilema. Di satu sisi, perangkat ini menawarkan akses cepat ke informasi, tetapi di sisi lain, kehadirannya sering kali menjadi gangguan yang signifikan dalam proses belajar-mengajar. Pelarangan gawai di sekolah, meski kontroversial, adalah langkah yang perlu dipertimbangkan demi menjaga fokus dan kesehatan mental peserta didik.

Dampak Negatif Gawai di Sekolah

Jonathan Haidt, dalam bukunya The Anxious Generation, mengungkapkan bahwa masa kanak-kanak dan remaja yang berbasis pada penggunaan perangkat digital telah mengganggu perkembangan sosial dan emosional anak. Empat kerugian utama yang diidentifikasi Haidt mencakup gangguan tidur, deprivasi sosial, fragmentasi perhatian, dan kecanduan. Keempatnya memiliki dampak langsung terhadap performa peserta didik di sekolah.

Sebagai contoh, banyak peserta didik yang lebih sibuk memperbarui status media sosial mereka, melihat harga barang di aplikasi belanja daring, menonton konten-konten terkini daripada mendengarkan penjelasan guru. Dalam satu kasus nyata, seorang peserta didik terlihat asyik bermain game online di bawah meja saat pelajaran berlangsung. Ketika ditegur, ia mengaku bahwa bermain game adalah cara untuk menghindari rasa bosan di kelas. Fenomena seperti ini tidak hanya menghambat pembelajaran individu, tetapi juga mengganggu suasana kelas secara keseluruhan. Bila kami menegur dengan tegas, terkadang, peserta didik melawan atau bersikap acuh tak acuh, atau membalas dengan intonasi lebih tinggi.

Hubungan Gawai dengan Krisis Kesehatan Mental

Haidt juga menyoroti lonjakan kecemasan dan depresi pada remaja, terutama pada generasi yang tumbuh besar dengan smartphone. Media sosial, yang sering kali menjadi aplikasi utama di gawai peserta didik, menciptakan tekanan sosial melalui budaya perbandingan dan ekspektasi yang tidak realistis. Sebagai akibatnya, banyak peserta didik merasa terisolasi meskipun mereka "terhubung" secara digital.

Di sekolah, tekanan ini tampak jelas ketika peserta didik lebih fokus memikirkan jumlah "like" pada unggahan mereka daripada memahami pelajaran yang sedang diajarkan. Hal ini menciptakan suasana di mana perhatian peserta didik terpecah, sehingga proses belajar menjadi kurang efektif.

Anak-anak menghabiskan semakin sedikit waktu bersosialisasi secara langsung dan semakin banyak waktu terpaku pada layar, dengan anak perempuan cenderung terseret ke pusaran media sosial yang menghancurkan harga diri, dan anak laki-laki cenderung kecanduan game atau bahkan pornografi. Masa kecil tidak lagi "berbasis permainan", tetapi "berbasis telepon". Haidt percaya bahwa orang tua menjadi terlalu protektif di dunia nyata, menunda usia di mana anak-anak dianggap aman untuk bermain tanpa pengawasan atau melakukan tugas sendiri, tetapi tidak berbuat banyak untuk melindungi anak-anak dari bahaya daring. Kita telah memberikan kebebasan yang terlalu besar kepada kaum muda untuk menjelajahi internet, yang membuat mereka berisiko diganggu dan dilecehkan atau menemukan konten yang berbahaya, mulai dari kekerasan grafis hingga situs yang mengagungkan bunuh diri dan menyakiti diri sendiri.

Manfaat Sekolah Bebas Gawai

Mengadopsi kebijakan sekolah bebas gawai bukan berarti menolak teknologi, tetapi mengarahkannya pada penggunaan yang lebih bijak. Beberapa manfaat yang dapat diperoleh dari kebijakan ini meliputi:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun