Mohon tunggu...
Taufik Alamsyah
Taufik Alamsyah Mohon Tunggu... Guru - Seorang tenaga pengajar

Mengajar adalah belajar

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Naturalisasi Instan Vs Filosofi Sepak Bola Jepang

16 November 2024   21:56 Diperbarui: 16 November 2024   22:32 391
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Meskipun ada pemain berbakat seperti Rafael Struick, Hubner, Oeratmangoen yang menunjukkan potensi besar, keberadaan mereka sering kali menutupi masalah mendasar: minimnya pembinaan pemain lokal yang berkelanjutan. 

Sebaliknya, Jepang telah memastikan bahwa pembinaan mereka menyentuh seluruh lapisan masyarakat melalui program pelatihan standar untuk pelatih lokal, pengembangan akademi di setiap prefektur, dan penyelenggaraan kompetisi usia dini yang konsisten (Pandit Football).

Kunci keberhasilan Jepang terletak pada integrasi filosofi dan eksekusi. Mereka tidak hanya membangun liga profesional yang kompetitif tetapi juga menciptakan sistem yang mendukung regenerasi pemain secara alami. 

Ini terlihat dari keberhasilan mereka menghasilkan 25 pemain yang kini bermain di Eropa, termasuk Wataru Endo (Liverpool), Junya Ito, Keito Nakamura (Reims), Takumi Minamino (Monaco), Hidemasa Morita (Sporting Lisbon), Yuki Ohashi (Blackburn Rovers), Daichi Kamada (Crystal Palace), Kaoru Mitoma (Brighton), Koki Ogawa (NEC Nijmegen), Daizen Maeda, Reo Hatate (Celtic). 

Dalam konteks Indonesia, liga domestik masih menghadapi berbagai kendala, seperti minimnya stabilitas finansial dan pengelolaan klub yang sering kali tidak transparan. Akibatnya, banyak pemain lokal berbakat yang gagal berkembang karena kurangnya infrastruktur pendukung dan pelatihan yang memadai.

Naturalisasi pemain ibarat membeli buah matang dari luar kebun sendiri: hasilnya cepat terlihat, tetapi manfaatnya tidak berkelanjutan. Indonesia membutuhkan perubahan paradigma dari mengandalkan jalan pintas menuju pembinaan yang berfokus pada jangka panjang. 

Dengan mempelajari strategi Jepang, PSSI dapat membangun liga domestik yang kompetitif, mempromosikan pembinaan usia muda, dan menciptakan sistem yang memungkinkan pemain lokal untuk berkembang.

 Sebagai langkah awal, membangun akademi yang terstandarisasi di seluruh wilayah Indonesia dapat menjadi fondasi yang kuat untuk regenerasi pemain di masa depan (Pandit Football).

Pada akhirnya, keberhasilan sebuah tim nasional tidak ditentukan oleh banyaknya pemain naturalisasi yang mereka rekrut, melainkan oleh kekuatan sistem pembinaan dan filosofi yang mereka bangun. 

Jepang telah membuktikan bahwa kesabaran dan perencanaan jangka panjang adalah kunci keberhasilan. Sementara Indonesia masih terjebak dalam ilusi kemenangan instan, mungkin sudah saatnya kita berhenti sejenak, belajar dari Jepang, dan mulai membangun fondasi yang kokoh untuk masa depan sepak bola Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun