bola Jepang dan Indonesia, tampak jelas perbedaan filosofis dan implementasi yang mencolok. Jepang, melalui Federasi Sepak Bola Jepang (JFA), telah lama menetapkan "Visi 100 Tahun," sebuah rencana jangka panjang yang bertujuan menciptakan 100 klub profesional berbasis komunitas serta meraih trofi Piala Dunia pada 2092 (https://thesefootballtimes.co/).
Ketika membandingkan pendekatan sepakDimulai sejak pembentukan J-League pada tahun 1993, visi ini menekankan pembinaan pemain lokal sejak usia dini dan menciptakan ekosistem sepak bola yang berkelanjutan.Â
Sebaliknya, PSSI lebih memilih jalan instan melalui naturalisasi pemain seperti Cristian Gonzales dan Stefano Lilipaly, hingga yang terbaru, Rafael Struick, Ivar Jenner, Martin Paes sampai Ole Romany.Â
Kebijakan ini memang memberikan dampak langsung, tetapi sering kali tidak disertai pembinaan mendalam yang dapat mendukung regenerasi pemain dalam jangka panjang.Â
Keberhasilan Jepang bukan semata karena keberuntungan, tetapi buah dari sistem yang terstruktur dengan baik. JFA memastikan setiap klub profesional di J-League memenuhi standar administrasi dan finansial yang ketat, termasuk kewajiban untuk berkontribusi pada pembinaan usia muda (Pandit Football).
Langkah ini menghasilkan talenta-talenta lokal yang kini menghiasi liga-liga top Eropa. Para pemain ini telah membuktikan bahwa pembinaan jangka panjang yang berbasis komunitas mampu menciptakan atlet yang kompetitif di panggung internasional.Â
Kini setelah model tersebut diterapkan, standar sepak bola juga meningkat di luar lapangan. Stadion di seluruh liga menawarkan fasilitas yang lebih baik, dengan investasi yang lebih besar selama dua dekade, dan Piala Dunia 2002 yang turut berperan.Â
Beberapa stadion masih baru, beberapa dibangun kembali, tetapi standar telah ditetapkan untuk permainan nasional dengan banyak stadion yang menampung lebih dari 40.000 penonton.
Ditambah dengan bulan mereka menjadi pusat perhatian pada tahun 2002, sepak bola Jepang telah lama dikenal. Sementara itu, Indonesia masih bergantung pada pemain naturalisasi yang sebagian besar hanya memiliki pengalaman di liga-liga Asia atau regional, seperti Ilija Spasojevi dan Marc Klok.Â
Pendekatan naturalisasi PSSI, meskipun terlihat menjanjikan, menyimpan sejumlah tantangan.Â
Contohnya, beberapa pemain naturalisasi seperti Victor Igbonefo dan Otavio Dutra hanya memberikan dampak minimal di level internasional karena terbatasnya adaptasi mereka terhadap filosofi permainan tim.Â