Mohon tunggu...
Taufik Alamsyah
Taufik Alamsyah Mohon Tunggu... Guru - Seorang tenaga pengajar

Mengajar adalah belajar

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Corat-Coret di Usia 33 Tahun

24 Oktober 2024   14:41 Diperbarui: 24 Oktober 2024   14:46 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di usia dua puluhan, hidup terasa seperti pesta tanpa akhir --- sebuah lagu jazz yang terus mengalun dengan ritme bebas, memanggil siapa saja untuk ikut berdansa. Hari-hari berlalu begitu saja, tanpa beban yang menggerogoti pikiran. 

Bangun siang tak dianggap dosa, nongkrong sampai matahari terbit adalah rutinitas mulia. Teman-teman berbaris di daftar pesan seperti koran pagi: selalu ada, selalu siap. Tak ada yang menuntut, tak ada janji yang harus ditepati selain janji ketemu di kafe favorit jam sembilan malam, meskipun akhirnya datang jam sebelas.

Kini, di usia 33 tahun, hidup seakan berubah menjadi novel realisme magis yang absurd --- semua orang tampaknya menuntut peran utama dalam ceritamu. Kamar yang dulu penuh poster band dan tiket konser kini berubah jadi gudang popok dan boneka. 

Meja kerjamu tidak lagi dihiasi kopi dingin dari malam sebelumnya, tapi tumpukan buku pelajaran dan rencana pembelajaran harian. Tiba-tiba, malam-malam panjang bukan lagi tentang menyusuri jalanan kota bersama teman, tapi tentang mengganti popok Katrina yang basah atau menenangkan tangisannya tepat di pukul dua pagi.

Oh, betapa indahnya dua puluhan! Waktu itu, hidup terasa tanpa gravitasi ---kamu melompat dari satu kafe ke kafe lain, dari satu kota ke kota lain, tanpa perlu memikirkan cicilan atau tagihan listrik. 

Kerja hanyalah cara untuk mendapatkan cukup uang buat liburan atau membeli gawai terbaru. Tak ada yang menghitung jam kerja atau mengecek saldo tabungan untuk memikirkan masa depan. Masa depan? Ah, itu hanya teka-teki yang bisa ditunda.

Dan cinta? Cinta di usia muda seperti lagu pop ---ringan, menyenangkan, tapi mudah dilupakan. Tidak ada urgensi untuk membicarakan pernikahan atau memikirkan berapa biaya yang dibutuhkan untuk membesarkan seorang anak. Putus cinta? Tidak masalah, selalu ada teman yang siap mendengar keluhanmu sampai pagi, diiringi kopi hitam dan, obrolan ringan soal hidup yang seolah tak punya akhir.

Tapi dua puluhan itu juga licik. Ia membuatmu merasa seolah kebebasan akan bertahan selamanya. Seakan-akan kamu tak akan pernah lelah, tak akan pernah harus berhadapan dengan realitas yang datang tanpa aba-aba. Hingga akhirnya, angka itu berubah. Tiga puluh menyambutmu dengan pelukan yang dingin tapi nyata, dan kamu tersadar: pesta itu berakhir, sobat.

Usia 33 bukan lagi soal memilih tempat nongkrong, tapi soal menghitung berapa liter air galon yang harus dibeli supaya cukup hingga akhir minggu. Sekarang, alarm di pagi hari bukan lagi musuh, tapi penolong ---penanda bahwa hari baru dimulai dan tanggung jawab harus dijalankan. Kamu bangun bukan hanya untuk diri sendiri, tapi untuk anak, pasangan, dan pekerjaan.

Setelah menikah dan punya anak, waktu menjadi mata uang paling berharga. Jadwal nongkrong bersama teman semakin jarang dan terasa seperti sebuah kemewahan. Bahkan jika ada undangan hangout, pikiranmu lebih sibuk menghitung: Besok ada jadwal mengajar pukul tujuh pagi, popok Katrina tinggal lima lembar, listrik belum dibayar, dan cicilan rumah jatuh tempo lusa. Nongkrong akhirnya hanya tinggal rencana yang baik ---seperti novel yang tak pernah selesai dibaca, karena setiap kali memulai, ada tugas lain yang mendesak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun