Sejak mengundurkan diri dari penyelenggara pemilu, yakni Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Kota Manado, Saya langsung bergabung ke partai politik. Kebetulan, Saya berlabuh di Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Langsung diberi jabatan sebagai Wakil Sekretaris Dewan Pimpinan Daerah (DPD) PSI Kota Manado saat itu. Selanjutnya Saya mempersiapkan diri untuk mendaftar sebagai calon legislatif (caleg) dapil Tikala-Paaldua.Â
Sebenarnya, Saya masih tersisa 4 bulan untuk menyelesaikan tugas sebagai komisioner. Namun, tahapan pendaftaran bacaleg mengharuskan bagi yang berstatus sebagai penyelenggara pemilu, berkewajiban memberikan surat keputusan diberhentikan dari instansi berwenang saat penyerahan berkas. Hal ini tertuang dalam peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No. 10 tahun 2023.Â
Saya tancap gas. Tanpa berlama-lama, begitu resmi mendaftarkan diri sebagai bacaleg, perlahan Saya turun ke lapangan. Bertemu dengan warga calon konstituen pemilih. Sosialisasi ini tidak didefenisikan sebagai kampanye. Sebab, kampanye dalam undang-undang Pemilu hanya masuk dalam kategori pada tahapan secara khusus setelah semua bacaleg resmi ditetapkan sebagai Daftar Calon Tetap (DCT).
Kegiatan bertemu dengan warga, sejak awal dilakukan bersama mayoritas ibu-ibu, perempuan. Beberapa kawan Saya banyak yang mengkritik, agenda pertemuan selalu didominasi dengan peserta perempuan. Mengapa?
Setidaknya, ada beberapa alasan. Diantaranya, bagi Saya, perempuan terutama ibu-ibu, jauh lebih mengetahui urusan rumah, (bukan bermaksud memposisikan mereka kelas yang berbeda dengan laki-laki. Faktanya, yang Saya kunjungi rata-rata adalah ibu rumah tangga). Mereka pula yang jauh lebih memahami problem di lingkungan dan sekitar. Urusan kesejahteraan, masalah kesenjangan, problem distribusi bantuan hingga lain sebagainya, justru sangat dikuasai kaum perempuan.Â
Selain itu, perempuan jauh lebih progresif dan responsif bila diajak ngobrol. Ketika lawan bicara mereka sedang menjelaskan, kecenderungan mereka lebih peka' untuk peduli atas apa-apa yang disampaikan, ketimbang lelaki.Â
Ini bukan sekedar pengalaman yang Saya terima. Sikap feedback (masukan dan penerimaan) perempuan dalam mendapatkan informasi dari lawan bicara mereka ternyata pernah diteliti oleh beberapa ahli. Zimmerman, D. & West, C. misalnya. Keduanya meneliti pola dan perbedaan sikap dalam berdialog antara laki-laki dan perempuan. Dalam penelitian mereka menunjukkan bahwa perempuan lebih aktif dari lelaki ketika memberikan dukungan (back channel support) terhadap lawan bicara.Â
Back Channel Support adalah masukan verbal dan non-verbal yang diberikan pendengar kepada pembicara, misalnya dengan berkata "mmm", "ya","aha", atau dengan mengangguk, tersenyum, mengerutkan dahi atau gerak tubuh lain termasuk postur tubuh (cara duduk dan berdiri). (Linda Thomas & Shan Wareing, dalam buku mereka, Bahasa, Masyarakat dan Kekuasaan).
Lebih jauh, ternyata perempuan memiiki kecenderungan aktif untuk memberikan dukungan terhadap lawan bicara ketimbang lelaki. Oleh karena bentuk support itulah pembicara selalu merasa dihargai dan percaya diri. Bayangkan, bila disaat menyampaikan sesuatu, pembicara menjadi tidak yakin terhadap diri sendiri untuk melanjutkan pembicaraan gegara sikap apatis atau gestur yang tak responsif dari pendengar. Anda bisa mencoba atau bereksperimen terhadap hal ini.Â
Itulah mengapa, terkait sosialisasi dengan pola presentasi program dan visi misi Saya sebagai caleg, perempuan selalu menjadi objeknya. Meski demikian, bukan berarti Saya menutup ruang bagi lelaki untuk mendengarkan. Meski hanya satu atau lebih, beberapa pertemuan juga ada laki-laki sebagai peserta forum. Namun, benarlah hasil penelitian itu, pendengar perempuan banyak yang serius menyaksikan sekaligus memberi respon, semantara yang lelaki justru sibuk dengan handphonenya atau lebih memilih diam tak menggubris.
Terus, apakah tak mau memperoleh dukungan dari pemilih lelaki? Wah, pasti mau lah. Namun, metode sosialisasi ke lelaki, baik yang muda dan tua, harus dengan pendekatan yang berbeda. Seperti apa? Akan Saya share nanti.
Sosialisasi nyaleg, bukan sekedar berharap agar apa yang diprogramkan, dijanjikan bahkan disampaikan bisa didengar dan mendapatkan dukungan hingga memilih pada hari "H". Tetapi, kegiatan ini juga bagian dari memastikan semua yang disampaikan mendapat respon yang perlu dievaluasi atau diapresiasi. Dengan cara ini, maka pemilih Kita pun tidak terjebak pada iming-iming semata, melainkan ada keyakinan bahwa caleg tersebut memang layak dipilih. Semoga ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H