Garis besar dari doa ini adalah "ilmu memahami".
Memahami, tidak sekadar mengetahui. Memahami adalah sebuah tugas yang tidak berkesudahan (Schleiermacher). Ia merupakan sebuah proses, yakni kegiatan menangkap.
Tapi, ingat, memahami itu harus terbuka lebar. Tidak hanya memahami pemahaman, melainkan pula memahami kesalahpahaman dan ketidaksepahaman. (Budi Hadirman).
Nah, bisa saja pada forum di mana Aku membacakan doa, ada diantara Kami yang tidak saling memahami inti materi yang diterima selama kegiatan. Bisa juga ada kontestan pilkada nanti yang punya pemahaman tidak sesuai keinginan regulasi. Begitupun juga dengan rakyat yang sering salah paham dengan kerja-kerja pengawasan.
Demikian pula, Pemkot Manado yang "belum", "tidak" atau "salah" memahami maksud dan tujuan pengajuan angka anggaran Pilkada, hingga akhirnya mereka hanya bersedia dengan angka yang jauh dari kebutuhan yang seyogyanya.
Nah, situasi kesalahpahaman seperti di atas adalah menjadi ciri khas masyarakat modern yang ditandai dengan kemajemukan cara-cara hidup. Artinya, kesalahpahaman sebagai hal yang barang tentu.
Pertanyaannya, mengapa terjadi kesalahpahaman itu? Vorurteil, jawab Schleiermarcher. Yakni, prasangka.
Kenapa terjadi peristiwa penikaman kepada Wiranto? Karena ada Vorurteil disana. Mengapa seorang istri berlaga marah kepada suami? Ada Vorurteil. Apa sebab, seorang anggota DPR membanting meja saat rapat? Lagi, Vorurteil. Sebab apa Papua rusuh? Seperti sebelumnya, Vorurteil. Mahasiswa demo, rusuh? Vorurteil.
Alhasil, prasangka merajalela. Maka, ilmu memahami harus digalakkan. Semua cara mesti dilakukan. Setiap pola wajib dimainkan. Termasuk di dalamnya dengan doa. Semoga Tuhan memberikan ilmu memahami kepada Kita semua, agar senantiasa bijaksana dalam menghadapi perbedaan pikiran dan perasaan.
Demikian, NPHD ! Aku merindukanmu... !!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H